Eksklusif: Sofjan Wanandi di Balik Kiprah 50 Tahun AICA Indonesia
Jakarta, FORTUNE - Lem kuning legendaris itu tak pernah benar-benar hilang dari ingatan tukang, arsitek, hingga ibu rumah tangga. Dikenal luas sebagai Aica-Aibon, perekat serbaguna ini telah menempel di lapisan kayu lapis, karet, kulit, logam, dan vinil di ribuan rumah dan proyek bangunan di Indonesia sejak puluhan tahun lalu.
Pada Juli 2024, tepat 50 tahun sejak pabrik pertamanya berdiri di Bekasi, perusahaan ini memperkenalkan tampilan baru: logo yang lebih modern, warna kuning-merah yang lebih terang, dan desain kemasan yang seragam untuk setiap varian. Ini bukan sekadar kosmetik. Langkah itu sekaligus menjadi peringatan terhadap maraknya pemalsuan produk mereka yang masih beredar di pasar.
Di balik kiprah panjang perusahaan Jepang yang mengakar kuat di Indonesia ini, tersimpan cerita tentang diplomasi bisnis antarnegara, krisis moneter, hingga ekspansi yang menjangkau Jepang—negara asal sang produsen. Dua tokoh utama yang berperan besar dalam kisah ini adalah Sofjan Wanandi, pendiri Pakarti Yoga Group yang membawa AICA masuk ke Indonesia pada awal 1970-an, serta Dan Mashiki, Managing Director AICA Indonesia yang kini memimpin arah bisnis menuju inovasi dan pasar global.
Bagaimana sejarah AICA Indonesia dan bagaimana bertahan lima dekade, serta terus relevan di tengah perubahan zaman? Dalam wawancara eksklusif bersama Fortune Indonesia, Sofjan dan Mashiki mengisahkan jejak dan strategi yang mengikat kuat perjalanan Aica-Aibon dari masa lalu, kini, hingga nanti.
Bidikan jitu Sofjan Wanandi

Q: Bagaimana awal perkenalan Anda dengan AICA Kogyo di Jepang?
A: Saya dikenalkan AICA Kogyo oleh Mitsui Group sekitar lima puluh tahun lalu. Waktu itu, mereka sedang mempertimbangkan investasi di Indonesia. Saya lalu pergi ke Nagoya bersama dua staf untuk melihat langsung pabrik AICA Kogyo dan bertemu Mr. Nagano, Presiden Direktur mereka saat itu. Di sanalah kami berdiskusi dan mulai bernegosiasi.
Q: Apa yang Anda lihat dari AICA Kogyo saat itu?
A: Saya melihat Aica-Aibon sangat populer di Jepang. Mereka juga sudah berinvestasi di Malaysia dan sedang melirik potensi pasar lain di Asia Tenggara. Sementara itu, di Indonesia, sektor konstruksi dan properti mulai tumbuh. Jadi, saya melihat ini sebagai peluang besar yang tidak boleh dilewatkan.
Q: Bagaimana Anda meyakinkan AICA Kogyo agar serius masuk ke Indonesia?
A: Saya mengajak sejumlah pemain besar seperti Grup Ciputra, PT Pembangunan Jaya, dan kontraktor lain untuk menjadi standby buyer produk HPL. Ini penting agar mereka yakin ada pasar nyata di sini. Dan ternyata, prosesnya cepat—dalam enam bulan kami mencapai kesepakatan.
Q: Berapa besar investasi awal yang Anda tanamkan?
A: Kami menggelontorkan investasi sebesar US$5 juta. Mitsui Group saat itu juga ikut memiliki 10 persen saham perusahaan. Pabrik pertama didirikan di Bekasi, dan kami langsung mempekerjakan sekitar 200 orang. Targetnya bukan hanya pasar Indonesia, tapi juga ASEAN.
Q: Bagaimana AICA Indonesia bertahan saat krisis moneter 1997–1998?
A: Kondisinya sempat sangat berat. Pabrik kami hampir bangkrut. Tapi beruntung, partner Jepang kami memberi jaminan ke bank bahwa kami bisa bayar utang. Itu membuat kami bisa bertahan. Dan dalam waktu tiga tahun saja, kami berhasil pulih. Bahkan, modal kami jadi lebih kuat dan kami mencatat keuntungan.
Q: Apa langkah besar yang dilakukan pasca-krisis?
A: Kami bangun pabrik kedua di Cikampek pada 2014. Tapi ekspansi bukan cuma soal modal. Yang penting, bagaimana kita bisa beradaptasi dengan selera masyarakat. Kalau bisa scale up dengan benar, saya percaya perusahaan bisa bertahan bahkan sampai 100 tahun.
Q: Bagaimana Anda melihat strategi global AICA Kogyo saat ini?
A: Mereka sangat fokus mengembangkan bisnis internasional. Sekitar 52 persen pendapatan mereka masih dari Jepang, tapi 48 persen lainnya datang dari pasar internasional seperti India, Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Cina. Artinya, arah ekspansi mereka sangat jelas dan mendukung pertumbuhan AICA Indonesia juga.
Q: Menurut Anda, apa yang membuat AICA Indonesia akan terus eksis ke depan?
A: Selama ada pertumbuhan di sektor properti, konstruksi, dan furnitur, permintaan akan tetap ada dan optimistis bisa bertahan bahkan hingga 100 tahun.
Lima dekade kehadiran AICA Indonesia di Tanah Air

Q: Apa makna lima dekade kehadiran AICA Indonesia di Tanah Air?
A: Lima puluh tahun adalah perjalanan panjang yang membanggakan. Kami memulai dengan produk High Pressure Laminates (HPL) dan lem sintetis Aica-Aibon, yang awalnya 90 persen untuk ekspor. Kini, kami telah berkembang pesat, bahkan mengirimkan produk ke Jepang—negara asal kami sendiri.
Q: Apa yang menjadi rahasia keberlanjutan AICA Indonesia hingga hari ini?
A: Core values kami sangat kuat, termasuk investasi jangka panjang pada pengembangan SDM. Kami memadukan etos kerja Jepang dengan nilai-nilai lokal. Setiap tahun, para engineer kami dikirim ke Jepang untuk pelatihan. Ini bukan sekadar transfer teknologi, tapi juga membangun koneksi yang erat antara dua budaya kerja.
Q: Bagaimana AICA Indonesia beradaptasi dengan pasar domestik?
A: Kami sangat memahami bahwa masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, punya keinginan besar terhadap estetika rumah. Itu sebabnya kami terus memperkuat inovasi, desain, dan merilis motif-motif HPL edisi khusus, seperti marble, yang hanya ada di pasar Indonesia.
Q: Apa tantangan terbesar yang dihadapi? Apakah produk palsu jadi hambatan?
A: Pandemi 2020 itu masa penuh ketidakpastian. Banyak proyek berhenti, pembangunan melambat. Tapi kami bangkit pada 2021—bahkan sebelum pandemi resmi berakhir—tanpa melakukan layoff. Itu pencapaian penting bagi kami.
Soal produk palsu, kami mengimbau konsumen untuk selalu memeriksa logo dan barcode autentik pada kemasan. Baru-baru ini, kami juga menyegarkan desain kemasan 70 gram dengan warna yang lebih cerah dan logo baru agar lebih mudah dikenali dan sulit ditiru.
Q: Bagaimana kontribusi ekspor terhadap bisnis?
A: Saat ini, 60 persen produksi kami diekspor, dan Jepang adalah salah satu pasar utama. Lucunya, produk dari Indonesia justru lebih kompetitif dibanding yang diproduksi langsung di Jepang.
Q: Apakah tren rumah ‘setengah jadi’ menjadi peluang bagi AICA Indonesia?
A: Betul. Banyak rumah yang dibeli masyarakat masih harus direnovasi. Ini menjadi pasar besar bagi produk kami seperti panel dinding Cerarl dan pelapis meja Tough Top. Budaya ingin tampil beda dan estetik di kalangan muda juga mendorong permintaan.
Q: Apa yang membedakan produk HPL AICA untuk pasar Indonesia?
A: Kami meluncurkan edisi terbatas yang khusus dikembangkan berdasarkan selera lokal. Ada 14 motif, mayoritas marble, yang hanya tersedia di Indonesia. Ini bukti bahwa kami tidak hanya menjual produk global, tapi juga mendesain untuk pasar lokal.
Q: Bagaimana perkembangan lini produk Aica-Aibon?
A: Kami memiliki berbagai tipe—601, 10, GTR III (Spray), Super, 501, 12, RQ 651, dan 7. Terbaru, kami meluncurkan Aica-Aibon S+ dengan berbagai ukuran kemasan hingga 15 kg, menyasar segmen bisnis dan ritel.
Q: Apa kekuatan utama AICA Indonesia dibanding kompetitor?
A: Kami punya portofolio pasar yang seimbang antara domestik dan ekspor. Jika ada gangguan di satu pasar, kami masih bisa bergantung pada yang lain. Ini strategi penting untuk menghadapi dinamika pasar.
Q: Apa strategi bisnis AICA Indonesia untuk masa depan?
A: Kami fokus pada inovasi dan desain serta memperkuat orientasi ramah lingkungan. Tim pemasaran dan penjualan kami rutin berdiskusi dengan arsitek dan desainer agar tetap relevan dengan tren pasar. Lima tahun ke depan kami ingin menjadi produsen HPL dan lem sintetis terdepan di Indonesia. Kami juga terus meningkatkan pasar lokal tanpa melupakan ekspor, termasuk ke Jepang dan negara-negara ASEAN.