Ekspansi PLN Ke Pembangkit Listrik Gas Berisiko Bebani Negara hingga US$60 M

- RUPTL PT PLN 2025-2034 ekspansi pembangkit listrik gas 10,3 GW berisiko beban keuangan negara hingga US$60 miliar karena fluktuasi harga gas yang berdampak pada biaya pembangkitan listrik.
- Biaya subsidi PLN saat ini Rp177 triliun atau sekitar US$11 miliar, meningkat 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Biaya pembangkitan listrik diproyeksi naik dua kali lipat pada 2034.
- Pembangkit tenaga surya dan angin stabil, meskipun kapasitas terpasangnya masih kecil. Energi surya menghasilkan 20 persen dari kapasitas maksimumnya, sementara tenaga angin mencapai 44 persen.
Jakarta, FORTUNE - Ekspansi pembangkit listrik dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 yang sebesar 10,3 gigawatt (GW) dinilai dapat membebani keuangan negara.
Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), beban keuangan diperkirakan mencapai US$60 miliar dalam periode 2025-2034, dikarenakan harga gas yang berfluktuasi akan berdampak terhadap biaya pembangkitan listrik.
Analis Keuangan Energi IEEFA, Mutya Yustika mengatakan, selama ini terjadi peningkatan harga gas yang relatif lebih mahal dari harga batu bara, sebagaimana terungkap dalam laporan keuangan PLN.
Oleh karenanya, jika PLN terus melanjutkan ekspansi pembangkit listrik gas skala besar, Indonesia berisiko terkunci pada beban finansial jangka panjang, yang bisa berimbas ke tarif listrik yang lebih mahal atau subsidi listrik yang lebih tinggi.
Saat ini, dengan adanya subsidi pemerintah, konsumen hanya terbebani tarif listrik rata-rwta Rp1.153 per kilowatt hour (kWh). Padahal sebenarnya biaya pembangkitan listrik adalah sebesar Rp1.732/kWh. Dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis gas, biaya pembangkitan listrik diproyeksi bakal naik dua kali lipat pada 2034.
Pada 2024, Pemerintah Indonesia mengeluarkan anggaran sebesar Rp177 triliun atau sekitar US$11 miliar hanya untuk subsidi dan kompensasi PLN, ini meningkat 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
“Pemerintah akan perlu mengucurkan tambahan dana sekitar US$60 miliar pada periode 2025-2034 jika terus bergantung pada bahan bakar fosil alih-alih mendorong energi terbarukan yang lebih besar dalam bauran energi,” kata Mutya.
Mutya juga mencermati penggunaan energi surya dan angin tetap stabil, meskipun kapasitas terpasangnya masih tergolong kecil. Saat ini, pembangkit tenaga surya mampu menghasilkan listrik sebesar 20 persen dari kapasitas maksimumnya, sementara tenaga angin mencapai 44 persen.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata global, di mana energi surya biasanya hanya menghasilkan 16,2 persen dan angin 36 persen dari kapasitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sumber energi ini cukup andal dan berpotensi menjadi solusi mandiri energi dalam skala besar.
Berpotensi Mengaburkan Investor
Sebaliknya, pembangkit listrik berbasis gas belum dimanfaatkan secara maksimal. Dalam periode 2018–2024, Indonesia telah menambah kapasitas pembangkit listrik gas hingga 6,3 gigawatt (GW) sebagai langkah transisi dari batu bara. Kenyataannya, pembangkitan listrik gas justru tidak dimaksimalkan karena tingginya biaya dan terbatasnya pasokan gas. Bahkan, pada tahun lalu, pembangkit listrik gas hanya beroperasi 30 persen dari kapasitas penuhnya.
Di tengah ketimpangan tersebut, RUPTL justru menetapkan pembangunan pembangkit berbahan bakar fosil dalam skala besar untuk periode 2025–2029, mencapai 12,7 GW atau sekitar 45 persen dari total rencana, dengan porsi terbesar berasal dari gas sebesar 9,3 GW.
"Keengganan Indonesia beralih ke energi terbarukan akan berimbas pada biaya listrik yang lebih tinggi dalam jangka panjang, aset energi fosil yang terlantar, dan hilangnya peluang investasi," ujar dia.
Kendati, RUPTL terbaru mencerminkan adanya kemajuan dalam pengembangan energi terbarukan, dominasi pembangkit fosil, terutama gas, dalam lima tahun awal menimbulkan kekhawatiran tentang kesiapan Indonesia untuk beralih cepat ke energi bersih dan memenuhi target dekarbonisasi global.
Jadi, alih-alih memperpanjang ketergantungan pada gas dan batu bara, Mutya menilai Indonesia seharusnya memprioritaskan ekspansi pembangkit listrik berbasis surya dan angin yang terbukti dapat dibangun dan ditingkatkan kapasitasnya dengan cepat.
Selain menambah beban konsumen, hal ini juga berpotensi mengaburkan investor. Menurut Mutya investor global dan perusahaan multinasional yang mencari komitmen energi bersih akan enggan menanamkan modal di Indonesia karena alokasi gas dan batu bara yang cukup signifikan.
"Memprioritaskan energi terbarukan dalam lima tahun ke depan akan membuat Indonesia semakin kompetitif di pasar energi regional dan memperoleh manfaat dari percepatan transisi energi bersih global,” kata Meutya.