Bos Freeport Indonesia Ungkap Kendala Pasang Pembangkit EBT
Freeport Pilih Ganti PLTU dengan PLTMG.
Jakarta, FORTUNE - Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI), Tony Wenas, mengungkap sejumlah kendala yang membuat perusahaannya belum beralih dari pembangkit listrik energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Salah satunya adalah nilai keekonomian investasi atas proyek tersebut, yang bisa ditengok pada pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Sebelumnya PTFI pernah melakukan kajian pembangunan pembangkit listrik tenaga air untuk keperluan listrik pertambangan di sungai Urumuka, Mimika Barat. Dari hasil studi yang dilakukan, letak lokasinya cukup terjangkau, yakni sekitar 100 km dari lokasi tambang. Sayangnya, pembangunan pembangkit listrik tersebut membutuhkan waktu 5 hingga 7 tahun.
"Kami beroperasi hanya sampai 2041, jadi keekonomiannya itu jauh. Kita sudah selesai bangun, cuma dipakai sekitar 10 tahun sehingga hitung-hitungannya tidak masuk," ujarnya dalam webinar bertajuk "Misi Berkelanjutan Melalui Penurunan Emisi", Kamis (7/7).
Meski demikian, Tony Wenas menegaskan bahwa PTFI tetap berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan cara lain. Di antaranya adalah mengganti PLTU yang kini mereka gunakan dengan pembangkit listrik tenaga minyak dan gas (PLTMG).
"Komitmen PT FI untuk mencapai emisi karbon 30 persen di 2030 dan mungkin ke depannya 50 persen akan kita lakukan," jelasnya.
Menurutnya, upaya penurunan emisi selalu menimbulkan biaya bagi perusahaan. Memang biaya operasional pembangkit listrik ramah lingkungan tak jauh berbeda dengan energi fosil. Namun, investasinya juga harus memperhitungkan nilai keekonomian.
"Tentu ada investasi yang besar, dan ini adalah suatu keniscayaan. Memang ini harus dilakukan karena ini baik, bukan hanya dihitung sekarang tapi lebih kepada untuk ke depannya. Dan di samping komitmen kami, komitmen dunia dan para stakeholder kami juga menuntut seperti itu," katanya.
Tony juga menyampaikan bahwa pengelolaan tambang tembaga bawah tanah terbesar di dunia yang kini dilakukan PTFI adalah bagian penting dari transisi energi itu sendiri. Sebab, pembangkit EBT pada tahun-tahun yang akan datang bakal membutuhkan lebih banyak material tembaga.
“Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang membutuhkan tembaga 1,5 ton per megawatt, dan solar panel 4 ton per megawatt. Ini adalah kontribusi PTFI mendukung renewable energy menuju net zero,” ujar Tony.
PLTMG berpotensi lebih murah dari PLTU
Dalam kesempatan sama, VP Enviromental PTFI, Gesang Setiadi, mengatakan saat ini emisi yang dihasilkan perusahaannya susut 22 persen jika dibandingkan dengan 2018.
“Jika dibandingkan dengan tahun 2016 penurunan emisi yang berhasil dilakukan Freeport sudah sebesar 26 persen,” tuturnya
Untuk mendorong target penurunan 30 persen emisi pada 2030, PTFI juga telah mengerahkan tim khusus untuk melihat peluang melakukan efisiensi energi. Contohnya dengan mengganti mesin operasional yang lebih hemat energi.
“Kami dalam proses mengevaluasi, mengganti mesin pengering konsentrat yang sebelumnya menggunakan solar, kini menjadi listrik. Yang tadinya prosesnya dibakar, sekarang di-press konsentratnya untuk mengurangi kadar airnya, dan itu bisa mengurangi juga sekitar 16.000 metrik ton emisi karbon per tahun,” ujar Gesang.
Terkait konversi ke pembangkit lebih rendah emisi, ia mengatakan PTFI sebenarnya memiliki izin untuk menambah satu unit PLTU dengan kapasitas 35 MW—dari 3 PLTU dengan kapasitas total 195 MW yang beroperasi saat ini.
Namun, opsi tersebut tak diambil dan perusahaan memilih pendirian PLTMG dengan kapasitas 128 MW. PLTMG tersebut nantinya dapat dioperasikan dengan biodiesel 30 persen, serta menggunakan LNG. "Kalau batu bara bisa kita gantikan dengan LNG, dan LNG bisa disuplai dengan lancar dari lokasi cukup dekat sebetulnya itu cukup ekonomis dan ini bagus untuk pengurangan emisi," ujarnya.