Dirut PLN Ungkap Potensi Kerugian Rp18 Triliun Gara-Gara Aset MCB
PLN optimalkan penggunaan sistem digital ke petugas Yantek.
Jakarta, FORTUNE - Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, mengungkap adanya potensi kerugian Rp18 triliun di perusahaannya akibat buruknya pengelolaan aset tetap tidak beroperasi (ATTB). Ia mencontohkan, aset berupa MCB (Miniature Circuit Breaker) milik perusahaan yang berasal dari rumah pelanggan yang menaikkan daya listriknya.
Menurut Darmawan, potensi kerugian muncul lantaran MCB tersebut menjadi impairment asset karena tercampur antara yang sudah rusak dan yang masih bisa digunakan. Hal tersebut ia ketahui dari EVP Accounting PLN, Alfath Cordea Imalutha, ketika pihaknya melakukan inspeksi ke salah satu gudang PLN di Bekasi, Jawa Barat.
"Misalnya MCB ada [yang] menaikkan daya. MCB-nya masih bagus karena diganti MCB yang lebih besar lagi ketika kapasitasnya meningkat. MCB [lama] ini masuk ke karung, dimasukkan lagi ke gudang kita. Nah, ini, begitu ATTB masuk, ternyata sistem PLN tidak bisa mendeteksi ini masih jalan, sudah rusak, masih dalam garansi, rusak masih bisa diperbaiki, atau rusak betulan apa tidak," ujarnya pada Seminar Leaders Talk PT PLN Series 2023, Senin (13/2).
Darmawan mengatakan seharusnya pengelolaan ATTB tersebut bisa dimaksimalkan dengan menggunakan perangkat teknologi digital. Ia mengambil contoh pengelolaan barang di minimarket seperti Indomaret yang pencatatannya sangat detail dan selalu termutakhirkan.
"Misalnya kita beli sabun Dettol seperti ini, ambil satu, kita taruh di konter, itu hilang 1 langsung tahu. Kemudian kalau sudah ada dua hilang itu malam harinya sudah ada list-nya bahwa Dettol ini dua dari gudang di atas," katanya.
Ubah cara lama
Meski demikian, Darmawan mengakui tidak mudah melakukan transformasi dalam pengelolaan ATTB di PLN. Pasalnya, saat itu sistem pencatatan penggunaan MCB di PLN belum terintegrasi satu sama lain. Sehingga, jika ada pesanan untuk menaikkan daya dan penggantian NCB, pencatatan berada pada petugas pelayanan teknis (Yantek).
"Sistem kita tidak tersambung. Trigerring effectnya adalah di PLN Mobile. Begitu ada komplain [lewat PLN Mobile], itulah ada workorder. Begitu ada workorder, ini ada penggantian MCB. Yang ngambil, itu Yantek kita. Yantek kita, itu outsourcing kita, dan itu tidak nyambung. Hilang itu. Kemudian, gudang di tingkat UP3 (Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan), kantor cabang, masih menggunakan SAP tapi di ULP aplikasi gudang. Tidak tersambung lagi," katanya.
Kini, jelas Darmawan, PLN melakukan perubahan kultur pada petugas Yantek dengan menerapkan sistem digital dan Virtual Command Center (VCC) yang terhubung dengan fitur Yantek Mobile dalam aplikasi PLN Mobile.
"Akhirnya, yang kita lakukan people, teknologi hanya menjadi fasilitas. Pertama kita sambung dulu dari PLN mobile ke Yantek, kemudian ke gudang. Nyambung aplikasi juga sakit kepala. Akhirnya nyambung menggunakan aplikasi data. Tapi yang penting lagi perubahan mindset dari orang-orang ini adalah aset tidak boleh, kalau masih bisa digunakan, jangan sampai itu jadi impairment," jelasnya.
Dengan cara tersebut, klaim Darmawan, kini perusahaanya bisa menekan potensi kerugian di UP3 dan kantor cabang. "Singkat cerita, ini masih berjalan, tapi di satu UP3 saja cost saving-nya, aset yang bisa diselamatkan selama tiga bulan itu adalah sekitar Rp4 miliar. Ini satu UP3 yang kecil dengan adanya sistem yang baru ini," ujarnya.