Menimbang Potensi Naik Jabatan dengan Menjadi "Yes Man"
Sikap kooperatif dan kolaboratif kini lebih diapresiasi.
Fortune Recap
- Studi UCL menemukan bahwa pekerja dengan sifat mudah bekerja sama, rendah hati, dan altruistik berkontribusi pada kinerja tim lebih dari mereka yang agresif.
- Pandemi Covid-19 membuat karyawan yang santai dan lamban marah terbukti menjadi favorit manajer dalam kondisi pembatasan interaksi langsung.
- Kemudahan bergaul di tempat kerja sangat penting, karena tidak hanya menentukan kesuksesan karier tetapi juga aset untuk kesuksesan dalam setiap aspek kehidupan.
Jakarta, FORTUNE - "Nice guys finish…first."
Kalimat yang kesohor dari judul film dokumenter Richard Dawkins—yang ditayangkan BBC Horizon pada 1986—tersebut nampaknya relevan untuk menggambarkan kondisi persaingan di dunia kerja saat ini.
Sebab, berdasarkan studi beberapa peneliti University College London (UCL) bejudul “Kill chaos with kindness", para pekerja dengan sifat mudah bekerja sama, rendah hati, dan altruistik berkontribusi pada kinerja tim lebih daripada mereka dengan perilaku yang agresif.
Temuan tersebut seolah hendak membantah asumsi bahwa kompetitivitas dan kehausan akan kesuksesan di tempat kerja adalah kunci untuk mencapai posisi tinggi di perusahaan, dan pandemi mungkin menjelaskan perubahan tersebut.
Studi lebih awal dari University of California–Berkeley pada 2018, misalnya, menemukan bahwa sifat mudah diajak kerja sama (menjadi "yes man") sebenarnya bisa berdampak negatif pada karier seseorang.
Ada pula studi lainnya dari University of Copenhagen pada 2017 yang menyebut bahwa sifat mudah diajak kerja sama bahkan dapat mengurangi pendapatan seumur hidup.
Namun sejak pandemi Covid-19 membuat berbagai negara memberlakukan pembatasan interaksi langsung (lockdown), yang menekan mental dan meningkatkan beban yang dihadapi kebanyakan pekerja, para karyawan yang santai dan lamban marah terbukti menjadi favorit manajer.
Fortune.com melansir studi UCL yang mengamati hampir 3.700 pekerja yang berkolaborasi dalam tugas-tugas kelompok selama periode 10 tahun, memperhatikan lima besar sifat kepribadian setiap pekerja: Neurotisme, ekstrovert, keterbukaan, keteraturan, dan kemudahan bergaul.
Seperti yang diperkirakan, neurotisme menurunkan kinerja tim secara keseluruhan, sedangkan tiga berikutnya—ekstrovert, keterbukaan, dan keteraturan—meningkatkan kinerja tim.
Meski empat sifat pertama tersebut telah secara konsisten dikenal meningkatkan semangat dan produktivitas sebelum pandemi, kemudahan bergaul memiliki hubungan dengan kinerja yang "tidak signifikan dan sangat bervariabel," dan pekerja yang mudah diajak kerja sama dianggap "tidak membantu atau berpotensi mengganggu," tulis para peneliti.
Namun "di dunia baru ini," menjadi orang yang mudah bergaul di tempat kerja sangat penting. Sejumlah penelitian serupa yang mendukung temuan UCL pun bermunculan.
Pada 2022, sebuah studi dari University of Arkansas menemukan bahwa kemudahan bergaul tidak hanya menjadikan karyawan sukses dalam karier saat ini, tetapi juga merupakan aset untuk kesuksesan dalam setiap aspek kehidupan.
"Kita tahu hal ini penting—mungkin sekarang lebih dari sebelumnya—karena kemudahan bergaul adalah sifat kepribadian yang terutama berkaitan dengan membantu orang dan membangun hubungan positif, yang tidak luput dari pemimpin organisasi," tulis para penulis Arkansas.
Mengapa sifat kooperatif dan kolaboratif tak selalu menjadi aset?
Randall Peterson, co-author studi dan profesor di London School of Economics, mengatakan kepada CNBC bahwa di masa lalu, para peneliti menganggap kerja sama "sebagian besar tidak relevan" untuk produktivitas.
Hal itu sangat mungkin karena pekerja yang tidak menimbulkan gesekan bisa dengan gampang tidak diacuhkan, sedangkan pekerja yang lebih licik atau intens cenderung sulit diabaikan.
Bahkan, yang lebih buruk: beberapa orang yang mudah diajak kerja sama mungkin pasif, membiarkan orang lain mengambil kredit atas pekerjaan mereka atau mengambil kesempatan besar, bahkan jika mereka tidak pantas mendapatkannya.
Tessa West, seorang profesor psikologi di NYU dan penulis Jerks at Work: Toxic Coworkers and What to Do About Them, misalnya, mengatakan bahwa keinginan untuk membuat orang lain bahagia kadang-kadang dapat menyebabkan pemimpin segan memberikan masukan kritis kepada orang yang melakukannya. Dan hal tersebut buruk bagi pekerjaan.
"Kesopanan, ketika mengakibatkan menghindari umpan balik kritis yang diperlukan orang untuk berkembang—hal-hal spesifik itu—itulah saat hal tersebut menjadi masalah," ucapnya kepada Fortune.
Namun, belakangan kemudahan bergaul berubah menjadi pasif atau menahan diri adalah kebalikan dari apa yang diinginkan pekerja, terutama manajer.
Atas hal tersebut, Peterson memberi penjelasan sebagai berikut: "Jika Anda memiliki satu orang yang kompetitif dan satu orang yang kooperatif, orang yang kompetitif akan selalu menang," katanya. "Namun, dua orang yang kooperatif akan melampaui dua orang yang kompetitif setiap saat, [dan manajer] sekarang lebih mendukung kerja sama dan kemudahan bergaul daripada sebelum pandemi."
Mungkin sikap kooperatif dan kolaboratif—atau kemudahaan bergaul—mendapat dorongan besar karena masalah antarpribadi sebelumnya tak pernah menjadi penting di tempat kerja seperti saat ini.
Masalah seperti menetapkan parameter kerja fleksibel, mengelola hubungan dan sinergi di antara tim yang tersebar, dan mempelajari "work-life balance" telah menjadi prioritas utama bagi manajer, dan ini jauh lebih menjelaskan mengapa pekerja yang santai telah menjadi favorit.
"Pandemi benar-benar menunjukkan kepada orang nilai menjadi [seorang] tipe yang tenang, kooperatif daripada bintang yang ingin menempatkan diri di depan semua orang," kata Peterson kepada CNBC. "Dunia tempat kita tinggal semakin mengingatkan kita bahwa sistem bintang tidak akan lagi berhasil untuk kita."
Meski demikian, bukan berarti mengakui prestasi karyawan tidak lagi penting. Sebaliknya, merayakan keberhasilan (bahkan tanpa bintang emas) adalah kunci untuk mengurangi turnover—dan dapat menghemat jutaan dolar bagi perusahaan dalam jangka panjang.
Tak percaya? Bacalah laporan Gallup dan Workhuman (2022) yang menemukan bahwa lebih dari 30 persen karyawan dengan atasan yang secara teratur mengakui pencapaian kerja—atau peristiwa penting dalam hidup pekerjanya—berencana untuk tetap di perusahaan mereka saat ini setidaknya lima tahun lagi.