Inflasi Buat Konsumen Berhemat, Peritel Walmart Pangkas Proyeksi Laba
Laba Walmart sudah turun per April 2022.
Jakarta, FORTUNE – Raksasa ritel Walmart memangkas proyeksi laba karena terdampak oleh inflasi membubung yang membuat konsumen lebih berhemat dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Dikutip dari Reuters, Selasa (26/7), perusahaan yang berkantor pusat di Amerika Serikat itu menyatakan laba setahun penuh akan turun sekitar 11 sampai 13 persen, ketimbang perkiraan penurunan sebelumnya yang sebesar 1 persen. Lalu, laba per saham perusahaan, tidak termasuk divestasi, diproyeksikan akan menyusut 10 sampai 12 persen.
Di sisi lain, penurunan pendapatan operasional akan berkisar 13–14 persen untuk kuartal ini, dan dalam setahun penuh koreksinya diproyeksikan 11–13 persen.
Dalam keterangan kepada media, peritel terbesar tersebut mengatakan akan memotong harga barang dan pakaian dengan lebih agresif. Walmart secara keseluruhan akan melakukan kebijakan pemotongan harga demi mengurangi persediaan.
“Meningkatnya tingkat inflasi makanan dan bahan bakar mempengaruhi bagaimana pelanggan berbelanja. Kami sekarang mengantisipasi lebih banyak tekanan pada barang dagangan umum di bagian belakang," kata Doug McMillon, Kepala Eksekutif Walmart.
Mengutip laporan resmi Walmart, perusahaan pada kuartal yang berakhir April 2022 meraih pendapatan mencapai US$141,57 miliar, atau tumbuh 2,4 persen ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Sedangkan, laba bersih secara konsolidasi turun 25,2 persen dalam setahun menjadi US$2,10 miliar.
Dampak inflasi
Pengumuman Walmart mencerminkan kenyataan bahwa margin keuntungan untuk bahan makanan jauh lebih rendah ketimbang barang lain, menurut analis Neil Saunders dari GlobalData Retail.
Menurutnya, perusahaan memang berhasil menangani urusan tenaga kerja dan ongkos pengiriman, namun belum melewati beban ini secara penuh, yang kemudian berdampak ke profitabilitas.
“Sebagian besar pengecer tidak berjuang untuk menumbuhkan lini teratas mereka, tetapi mempertahankan tingkat profitabilitas yang tinggi,” kata Neil seperti dikutip dari The Business Times.
Langkah Walmart ini dinilai juga menjadi sinyal atas tekanan yang terjadi pada semua peritel. Dengan harga BBM dan makanan yang melonjak, konsumen tidak lagi menebus pakaian, barang-barang rumah tangga, peralatan dan peralatan dapur. Pada gilirannya, persediaan pengecer pun jadi menggunung.
Persediaan di toko barang umum pada akhir April adalah yang tertinggi setidaknya sejak 2000, menurut data Biro Sensus AS. Di sisi lain, Walmart menyatakan persediaannya bernilai lebih dari $60 miliar pada akhir kuartal pertama.
Sementara itu, pesaingnya, Target, memangkas perkiraan labanya dua kali dalam beberapa minggu. Perusahaan tersebut mengumumkan sedang berjuang dengan persediaan senilai $15 miliar, dan kemungkinan bakal memotong harga dan membatalkan pesanan.