Merajut Legacy Perempuan, dari Batik hingga Bisnis Kecantikan Global

Jakarta, FORTUNE - Di antara kain batik berusia puluhan tahun dan kilau mimpi yang menembus pasar global, Dewi Motik Pramono—aktivis sekaligus penggerak industri kreatif—dan Nurhayati Subakat, Founder sekaligus Komisaris Utama ParagonCorp, berbagi kisah tentang keberanian, keteguhan, dan warisan yang ingin mereka tinggalkan.
Dewi menorehkan jejak lewat perannya menjaga denyut budaya Nusantara dan mempelopori kiprah perempuan di dunia usaha dengan mendirikan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) pada 1975. Sementara itu, Nurhayati menumbuhkan bisnis kecantikan dari ruang tamu rumah hingga menjadi raksasa industri. Meski berangkat dari dunia yang berbeda, keduanya diikat oleh semangat yang sama: meninggalkan warisan bagi generasi mendatang.
Bagi mereka, warisan bukan sekadar karya yang bertahan lama, melainkan keberanian mengambil peran, melawan rasa ragu, dan berdiri tegak di tengah tantangan. Keberanian itu pula yang menegaskan bahwa perempuan memiliki ruang untuk memimpin dan memberi dampak besar.
Bagi Dewi, mengoleksi batik bukan hanya perkara hobi atau wujud cinta pada warisan budaya. Setiap helai kain menyimpan pesan, doa, dan filosofi yang melampaui nilai estetik. Salah satunya adalah motif Parang—pola klasik yang kerap diasosiasikan dengan bentuk pedang atau gelombang Laut Selatan Yogyakarta. Bagi banyak orang, Parang menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan semangat pantang menyerah.
“Motif ini seperti mengajarkan kita untuk terus maju, apa pun rintangannya. Gunakan talenta untuk membangun, berjejaring, dan percaya diri. Jangan takut bersuara demi kepentingan bangsa,” ujar Dewi dalam talkshow “Merdeka Tanpa Batas: Perempuan, Legacy, dan Cinta untuk Negeri” di Galeri Demono, Menteng, Jakarta, Kamis (14/8). Meski begitu, ia memahami bahwa energi kuat dari motif ini membuatnya jarang digunakan dalam pernikahan, yang diharapkan membawa ketenangan, bukan aura perjuangan.
Kunci untuk terus maju, lanjut Dewi, terletak pada kemampuan beradaptasi dengan perubahan zaman. Ia juga menggarisbawahi peran vital perempuan baik dalam keluarga maupun di tengah masyarakat, serta mendorong mereka untuk mendokumentasikan perjalanan hidup—dari tantangan hingga keberhasilan yang diraih.
“Hidup itu selalu ada perubahan, tapi kalau kita konsisten, memimpin dengan empati, simpati, saling menghormati, dan saling mendukung, kita akan tetap bisa bertahan. Jangan memikirkan diri sendiri, tapi pikirkan sesama. Ada stigma bahwa perempuan mengedepankan perasaan, tapi jangan terlalu banyak mendengar cerita negatif orang. Untuk menjadi strong leader, selama itu bermanfaat bagi banyak orang, jangan ragu untuk melangkah,” tegasnya.
Sementara itu, Nurhayati menggarisbawahi pentingnya keberanian mengambil keputusan, meskipun keputusan itu tidak populer. Ia menuturkan pengalamannya saat menghadapi krisis pandemi COVID-19. “Waktu itu ada yang protes, kok ada yang WFO dan ada yang WFH. Saya bilang, kita harus saling peduli. Kalau semua WFH, siapa yang bikin dan menjual produk? Dengan lima nilai yang kami pegang, kami bisa melewati pandemi dengan baik,” ungkapnya.
Tentang regenerasi, Nurhayati tidak pernah memaksa anak-anaknya masuk ke bisnis keluarga. "Tahun 2002, anak pertama saya, Harman—lulusan Kimia ITB—bergabung sebagai Group CEO ParagonCorp. Tahun berikutnya Salman, anak kedua, ikut masuk. Kini ia menjabat sebagai CEO NSEI. Terakhir, anak bungsu saya, dr. Sari Chairunnisa, juga bergabung dan kini memegang kendali di R&D," ujarnya. Meski awalnya penuh tantangan karena perbedaan karakter, tujuan yang sama menyatukan mereka. “Mereka melihat sendiri perjalanan ini dan memilih terjun. Kami juga dibantu family advisor untuk membimbing, agar visi perusahaan tetap terjaga,” tambahnya.
Bagi Nurhayati, kunci pemberdayaan perempuan adalah memiliki tujuan yang jelas tanpa kehilangan jati diri. “Saya rasa saya tidak pernah berubah menjadi orang lain. Yang penting punya tujuan, visi, dan hubungan yang bermanfaat untuk orang banyak,” katanya. Ia pun menekankan optimisme sebagai modal utama. “Setiap kesulitan selalu ada kemudahan. Saya jatuh bangun berkali-kali, tapi alhamdulillah bisa dilewati.”
Kedua perempuan ini menunjukkan bahwa warisan tidak selalu berbentuk benda—ia juga bisa berupa nilai, semangat, dan keteladanan. Diskusi ini merupakan bagian dari pameran “80 Kain Indonesia: Merayakan Warna-warni Warisan Nusantara”, yang berlangsung sepanjang 1–31 Agustus 2025. Pameran ini menampilkan koleksi pribadi Dewi Motik, termasuk karya maestro batik Iwan Tirta yang ia kumpulkan lebih dari setengah abad. Sejak dibuka pada Mei 2024, Galeri Demono menjadi ruang pertemuan seni, budaya, dan sejarah yang merayakan karya anak bangsa.