Fenomena ‘Resign’ Massal Tak Mewabah di ASEAN, Ini Alasannya
Gelombang The Great Resignation sempat marak di AS.
Jakarta, FORTUNE - Pengunduran diri massal atau The Great Resignation sempat marak terjadi di Amerika Serikat (AS), sebagai buntut dari pandemi Covid-19. Lantas, mengapa fenomena itu tak ikut terjadi di wilayah Asia Tenggara (ASEAN)?
Menurut survei The Great Resignation Reality Check dari Robert Walters (2022), pekerja profesional di ASEAN lebih menghargai stabilitas pekerjaan, terutama di tengah ketidakpastian seperti sekarang. Dus, gelombang resign tak terjadi dalam skala masif seperti di AS.
Dari 2.600 responden di lebih 1.100 perusahaan di Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, 59 persen mengaku tak nyaman resign tanpa mendapat pekerjaan baru. 81 persen responden yang sudah berpikir mundur dari posisinya pun bisa mengubah keputusan dalam kondisi memungkinkan.
Khusus responden Indonesia, 77 persen pekerja menyebut mempertimbangkan resign pada 2021. Tapi, 62 persen tak nyaman melakukannya jika tidak memiliki pekerjaan baru.
Ada sejumlah faktor yang bisa mengubah keputusan pekerja sebelum resign, yakni kenaikan gaji (37 persen), perubahan tanggung jawab pekerjaan (25 persen), dan promosi (23 persen).
Upaya retensi karyawan
Dari segi pemberi kerja, 65 persen perusahaan di Indonesia mengklaim kesulitan mempekerjakan talenta baru sejak tahun lalu. Itu tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan tantangan tersendiri bagi perusahaan di Asia Tenggara.
Perihal retensi, ada perbedaan persepsi antara karyawan dan upaya perusahaan melakukan keputusan tersebut. Setidaknya 40 persen tenaga kerja profesional di Asia Tenggara tak sadar akan perubahan yang perusahaan canangkan.
Adapun, 45 persen responden di Indonesia belum berpikir mengundurkan diri. Sejumlah alasan yang melandasi keputusan tersebut, yakni belum menemukan pekerjaan yang cocok (56 persen), kekurangan peluang pekerjaan di bidangnya (23 persen), kekhawatiran akan keamanan status pekerjaan di perusahaan baru (21 persen).
Rekan kerja dan budaya kerja suportif jadi indikator utama bagi 45 persen pekerja profesional dalam mencari posisi baru. Disusul oleh kompensasi dan tunjangan (44 persen) serta peraturan kerja secara fleksibel (34 persen).
“Di tengah kondisi yang terjadi, perusahaan perlu mengemas kisah mereka dengan baik, membangun komunikasi dan interaksi yang transparan dan akuntabel kepada para karyawan. Ini semata-mata perlu dilakukan supaya tiap karyawan merasa dihargai dan menumbuhkan kepercayaan sehingga bertahan dalam jangka panjang,” jelas Country Manager Robert Walters Indonesia, Eric Mary, dikutip Jumat (16/9).