Sektor Ritel Menuju Endemi dengan Optimisme
Sejumlah katalis menjadi dasar optimisme pemulihan ritel.
Jakarta, FORTUNE - Gelombang pandemi menggulung sektor ritel berkali-kali, memperburuk kondisi banyak ritel modern yang kinerjanya telah lebih dulu digerogoti oleh disrupsi digital. Namun, industri ritel mulai optimistis pulih tahun ini, disokong oleh sejumlah katalis.
Pantauan Fortune Indonesia pada awal Mei 2022, salah satu cabang dari jaringan ritel PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) di Depok dipenuhi para pemburu baju baru untuk rayakan Hari Raya. Area penuh tanda diskon dan promo ramai menarik para pelanggan. Selesai berburu, mereka pergi ke kasir di berbagai sudut toko ritel pakaian tersebut.
Itu sinyal baik bagi industri, setelah ribuan toko ritel rontok akibat pandemi. “Penjualan ritel sektor non-pangan pada 2020 sampai minus 60 persen dan pangan minus 40 persen,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, kepada Fortune Indonesia pada Maret lalu.
Industri ritel mulai bangkit
Selama wabah, konsumen membeli lebih sedikit barang tiap kali berbelanja. Jika sebelumnya sekali transaksi di supermarket bisa sampai Rp400.000 atau Rp500.000, kata Roy, “selama pandemi menurun hanya Rp200.000”. Itu karena kebanyakan konsumen hanya membeli produk esensial dan diprioritaskan.
Menurut data Aprindo, 1.800 gerai ritel di dalam atau luar mal tutup pada Maret-Desember 2020. Bila dirata-rata, sehari ada 5-6 gerai menyetop bisnisnya. Lalu, saat varian Delta merebak pada 2021 dan pemerintah memperketat mobilitas masyarakat, menutup mal, dan membatasi jam operasional, terdapat sekitar 1.500 gerai ritel yang tutup.
“Tahun ini situasinya sudah mulai membaik meskipun masih ada 40-45 gerai yang tutup sejak awal tahun sampai saat ini atau setara dengan per dua hari sekali ada satu toko yang tutup. Penyebabnya, ketidakmampuan cash flow, “ kata Roy.
Di balik itu, dia melihat mulai adanya optimisme pemulihan sektor ritel. Beberapa amunisi yang diharapkan membuat sektor ini bangkit mencapai titik balik mencakup penanganan pandemi Covid-19 yang membaik, vaksinasi yang sudah semakin meluas, serta pemulihan ekonomi dalam negeri.
Transisi menuju endemi dan penjualan O2O
Apalagi pemerintah tengah menggaungkan rencana mengubah pandemi menjadi endemi dan perlahan memberlakukan kebijakanvpelonggaran aktivitas masyarakat, seperti membolehkan mudik Lebaran.
“Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diproyeksikan mencapai 5 sampai 5,5 persen, maka industri ritel diharapkan bisa tumbuh 3,5-4 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang berkisar 2-2,5 persen di pertumbuhan ekonomi 3,69 persen,” ujar Roy.
Selain itu, pandemi Covid-19 dan disrupsi teknologi membawa perubahan besar bagi sektor ritel. Seperti dua sisi mata uang, ritel offline kini tidak lagi berkompetisi dengan online. Keduanya saling berkolaborasi dan melengkapi.
Komisaris PT Matahari Putra Prima Tbk itu menyebut, peritel offline terus berinovasi. Bidikannya bukan cuma penyediaan berbagai kanal daring, tapi juga pemanfaatan sepenuhnya pada infrastruktur teknologi, otomatisasi, dan big data untuk mendalami profil pelanggan.
Ekspansi gerai ritel
Di sisi lain, pandemi juga memicu perubahan pola ekspansi gerai ritel. Contoh kasus tergamblang pada minimarket, kata Roy, yang hingga kini gencar berekspansi karena “lebih agile di saat supermarket dan hypermarket mengerem”.
PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, perusahaan ritel pengelola jaringan minimarket Alfamart mengonfirmasi pendapat Roy. Menurut Solihin, Corporate Affairs Director perusahaan tersebut, Alfamart memiliki target menambah 800 gerai baru.
“Semuanya on-track,” katanya kepada Fortune Indonesia, “tapi mungkin saat Ramadan ada sedikit perlambatan.”
MR. DIY Indonesia setali tiga uang. Peritel asal Malaysia itu menggencarkan ekspansi toko baru pada 2022, melanjutkan langkah selama pandemi—dengan jumlah toko yang naik dari 300 menjadi 350.
“Sebentar lagi kami bakal selebrasi 400 gerai,” ujar Head of Marketing MR. DIY Indonesia, Andrew Soendjojo belum lama ini, ketika ditemui di Lippo Mall Puri.
Kolaborasi vertikal atau horizontal
Selain omnichannel dan konsep gerai kecil, Roy mengatakan kolaborasi ritel vertikal atau horizontal pun mulai diterapkan. Untuk yang disebut terakhir, contohnya adalah meletakkan kedai kopi di gerai ritel atau butik fesyen demi menarik lebih banyak pengunjung.
Inovasi konsep toserba turut diamini Chief Executive Officer (CEO) Sogo Indonesia, Handaka Santosa. Menurutnya, karena perputaran uang di industri ritel kencang, maka dampak menurunnya penjualan begitu signifikan terhadap perusahaan.
Karena itu, peritel perlu memodifikasi gerai menjadi one-stop shopping, strategi yang mulanya dibuat untuk menangkis gempuran penjualan online. Namun, belakangan, konsep tersebut akan terus dikembangkan demi menanggapi tren mengunjungi mal untuk berinteraksi secara sosial.
“Harapannya orang bisa berada lebih lama di dalam department store, yang awalnya ngopi, arisan, hingga akhirnya tertarik berbelanja,” kata Handaka menyebut Sogo Central Park dan Sogo Plaza Senayan telah menyempurnakan ruangnya dengan gerai makanan-minuman. “Dulu konsep ini pelengkap, sekarang jadi satu kebutuhan.”
Contoh lain, MR. DIY Indonesia menggandeng para peritel raksasa, pemilik mal dan properti lain; guna menjajakan 18 ribu produknya. Dari peralatan, perkakas, perabotan rumah tangga, alat tulis, peralatan listrik, mainan anak, perhiasan dan kosmetik, hingga aksesoris mobil.