Jakarta, FORTUNE – Deputi Pertama Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF), Gita Gopinath, mengatakan bahwa 60 persen negara berpenghasilan rendah berisiko tinggi menghadapi kesulitan pembayaran utang. Untuk itu, ia berharap negara-negara kelompok G20 mengubah perjanjian restrukturisasi lebih cepat.
Gita mengatakan, kebijakan ini akan banyak membantu negara berpenghasilan rendah untuk menghadapi tingkat utang yang tinggi. Beberapa negara bahkan menyalurkan hampir 3 persen dari total output ekonominya untuk utang. “Dan ketika suku bunga naik, itu akan meningkat lebih jauh,” katanya seperti dikutip Antara, Rabu (26/1).
Sebenarnya, penangguhan layanan utang G20 atas utang bilateral sudah berakhir di penghujung 2021, tapi beberapa negara-negara miskin belum menunjukkan hasil yang signifikan.Kerangka restrukturisasi utang G20 masih belum jelas dan kreditur swasta maupun Cina menunjukkan keengganan untuk berpartisipasi penuh.
Upaya IMF
Gopinath mengungkapkan, IMF akan beralih dari pembiayaan darurat yang diberikan pada negara-negara anggota pada 2020 dan 2021, untuk penanganan pandemi secara langsung atau perbaikan ekonomi. Peralihan ini nantinya akan digunakan ke program pembiayaan tradisional jangka panjang.
“Kami akan semakin melakukan program pinjaman jenis upper credit yang lebih tradisional, yang akan memiliki persyaratan yang datang dengan membantu negara-negara memecahkan masalah yang sulit di negara mereka,” ujar Gopinath.
IMF revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi
Dengan situasi dunia yang terjaadi belakangan ini, IMF akhirnya merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022, dari semula 4,9 persen turun menjadi 4,4 persen. Bahkan, pada 2023, pertumbuhan global diprediksi melambat jadi 3,8 persen. Revisi ini tercantum dalam laporan World Economic Outlook yang sudah diperbarui.
Menurut Gita, perlambatan pertumbuhan ini dikarenankan situasi ekonomi yang terus menghadapi permasalahan dalam hal pasokan, sehingga inflasi menjadi lebih tinggi. Demikian pula dengan rekor utang yang dialami negara-negara dalam situasi yang tidak pasti secara terus-menerus.
“Penyebaran varian omicron yang cepat menyebabkan pembatasan mobilitas baru di banyak negara dan meningkatkan kekurangan tenaga kerja,” ucapnya.
Kebijakan harus disesuaikan
IMF mengimbau negara-negara dunia membuat kebijakan yang disesuaikan dengan keadaan spesifiknya. Misalnya, terkait dengan tingkat pemulihan, maupun tekanan inflasi yang mendasari, serta ruang kebijakan yang ada.
“Pembuat kebijakan harus waspada memantau petak luas dan data ekonomi yang masuk, mempersiapkan kontinjensi, dan siap untuk berkomunikasi dan melaksanakan perubahan kebijakan dalam waktu singkat,” ujarnya.
Bersamaan dengan itu, masih ada masalah perubahan iklim yang juga penting lebih diperhatikan. Emisi karbon nol bersih pada 2050 harus tercapai, melalui mekanisme penetapan harga karbon, investasi infrastruktur hijau, subsidi penelitian, dan inisiatif pembiayaan.
“Kerja sama internasional yang berani dan efektif harus memastikan bahwa ini adalah tahun di mana dunia lepas dari cengkraman pandemi,” ucapnya.