Jakarta, FORTUNE – Rencana pemerintah untuk menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2023 diprediksi akan mempengaruhi ekonomi dan tingkat inflasi. Apalagi, tahun depan diprediksi akan jadi tahun yang berat dengan adanya resesi global.
Meski demikian, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menilai dampak kebijakan kenaikan cukai rokok terhadap inflasi relatif terbatas sekitar 0,10-0,20 persen. Bahkan, pada pertumbuhan ekonomi diperkirakan mempengaruhi hingga minus 0,01-minus 0,02 persen.
“Dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap inflasi diperkirakan terbatas dan sudah dikelola dengan baik,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (12/12).
Ia pun memperkirakan inflasi akan melandai pada tahun depan hingga 3,6 persen secara tahunan. Hal ini dikarenakan harga komoditas global yang melambat.
Kenaikan tarif CHT
Diketahui, pemerintah menetapkan kenaikan tarif CHT dengan rerata 10 persen pada 2023 dan 2024 dengan jenis sigaret kretek tangan maksimal 5 persen. Pemerintah juga melakukan penyesuaian terhadap batasan minimum harga jual eceran dengan memperhatikan perkembangan harga pasar dan rata-rata kenaikan cukai rokok.
Selain itu, pemerintah menaikkan tarif cukai untuk seluruh jenis rokok elektrik (REL) sebesar 15 persen dan hasil produk tembakau lainnya (HPTL) 6 persen tiap tahun, selama lima tahun ke depan.
Sri Mulyani mengatakan bahwa kebijakan tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan empat aspek, mulai dari pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengawasan bea cukai ilegal.
Berlaku untuk rokok elektrik
Sri Mulyani mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta kenaikan tarif pada rokok elektrik dan produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Kenaikan tarif cukai rokok elektrik ini pun akan berlaku setiap tahun selama lima tahun ke depan.
“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai rokok elektronik, yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HPTL,” katanya.
Ia mengatakan, alasan pemerintah menaikkan tarif cukai ini untuk mengendalikan konsumsi dan produksi rokok. “Sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun,” ujarnya.
Besarnya tingkat konsumsi rokok
Menkeu menjelaskan bahwa upaya menurunkan konsumsi rokok ini berdasarkan pada tingginya konsumsi rokok yang termasuk sebagai konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. “Mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan,” katanya.
Bahkan, konsumsi rokok ini melebihi konsumsi protein telur, ayam, tahu, dan tempe, yang sebenarnya lebih dibutuhkan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok usia 10-18 tahun dari 9,04 persen pada 2022 menjadi 8,7 persen pada 2024.
“Ini dilemma, bagaimana bisa kita mempengaruhi konsumsi rumah tangga agar bisa memprioritaskan barang yang lebih bergizi, sehingga anak-anak mereka tumbuh menjadi sehat, produktif, dan baik,” ujarnya.