Jakarta, FORTUNE – Cina kini semakin memantapkan posisinya sebagai kreditur atau pemberi utang utama dunia, bahkan menyaingi keberadaan International Monetary Fund (IMF).
Melansir Fortune.com, Rabu (14/9), Cina disebut telah mengeluarkan puluhan miliar pinjaman bagi negara-negara yang rentan dalam beberapa tahun terakhir. Ditengarai, kredit dalam bentuk pinjaman darurat ini adalah bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) yang dimulai Beijing sejak 2013 dengan nilai mencapai US$900 miliar.
Peneliti Bank Dunia mencatat, sekitar 60 persen peminjam dana dari Cina adalah negara-negara berpenghasilan rendah yang saat ini terperosok dalam kesulitan utang, atau berisiko tinggi. Pinjaman darurat yang diberikan, umumnya berlaku dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan pinjaman infrastruktur yang sifatnya lebih lama. Dengan demikian, pinjaman dari Cina bisa menjadi alternatif utang, selain IMF yang biasanya memiliki tempo pinjaman jangka panjang.
AidData, laboratorium penelitian di Universitas William & Mary yang berfokus pada kegiatan pembiayaan global Cina, menyebutkan sejak 2017, Beijing telah memberikan pinjaman darurat kolektif sebesar US$32,8 miliar ke Sri Lanka, Pakistan, dan Argentina.
Selain itu, Cina juga menawarkan pinjaman darurat kepada negara-negara Eropa Timur, seperti Ukraina dan Belarusia; negara-negara Amerika Selatan, misalnya Venezuela dan Ekuador; negara-negara Afrika, antara lain Kenya dan Angola; serta Laos, Mesir, dan Mongolia.
Risiko pinjaman darurat rahasia
Namun, seperti ditulis oleh Fortune.com, peneliti Bank Dunia, mengatakan bahwa pinjaman yang diberikan oleh Cina ini memiliki risiko yang cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, Cina memiliki kebijakan pinjaman darurat luar negeri yang bersifat rahasia. “Pemberi pinjaman Cina menerapkan kerahasiaan yang ketat dari debitur mereka dan tidak merilis rincian pinjaman mereka,” katanya.
AidData bahkan menyebutkan, setengah pinjaman dari Cina ke negara-negara berkembang tidak dilaporkan dalam statistik utang resmi. Menurut AidData, hal ini dilakukan untuk menjauhkan utang tersebut dari neraca pemerintah, dan lebih mengarahkannya pada perusahaan milik negara dan bank-bank Cina, usaha patungan, atau lembaga swasta.
Hingga saat ini ada lebih dari 40 negara berpenghasilan rendah dan menengah, memiliki utang ke Cina lebih dari 10 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mereka. Data Statista menunjukkan beberapa negara yang memiliki utang jumbo terhadap Cina di antaranya, Angola yang utangnya mencapai 40 persen dari PDB, Djibouti 39 persen, dan Maladewa 38 persen dari PDB.
Hampir 70 persen negara termiskin di dunia akan membagikan US$52,8 miliar tahun ini untuk membayar utang, dan lebih dari seperempat jumlah tersebut mengalir ke Negeri Panda.
Istilah ‘jebakan utang’
Negara-negara rentan memang banyak yang terbantu oleh adanya pinjaman darurat BRI Cina, namun tak sedikit juga yang mengalami kesulitan. Apalagi, setelah pandemi, krisis pun berlanjut soal pangan dan energi yang dimulai dari perang Rusia-Ukraina. Mereka mulai kesulitan untuk membayar utang kepada Cina, dan isu ‘jebakan utang’ pun mulai merebak.
Mengutip BBC, kepala badan intelijen luar negeri Inggris MI6, Richard Moore menyebutkan bahwa Cina melakukan ‘jebakan utang’ untuk mendapatkan pengaruh atas negara lain di dunia. “Saat melakukan pinjaman ke Cina, pada akhirnya beberapa negara harus menyerahkan kendali atas aset-aset utama jika mereka tidak dapat memenuhi pembayaran utang mereka. Namun, tuduhan ini sudah sejak lama dibantah oleh Beijing,” kata Moore.
Ungkapan jebakan utang ini bukannya tanpa dasar. Salah satu contoh adalah Sri Lanka yang bertahun-tahun lalu memulai proyek pelabuhan besar-besaran di Hambantota dengan investasi Cina. Namun, proyek miliaran dollar AS dengan pinjaman dan kontraktor dari Cina tersebut terlilit kontroversi dan justru makin membebani Sri Lanka dengan utang yang terus bertambah
Solusi akhirnya, pada tahun 2017, Sri Lanka setuju memberi China Merchants kepemilikan 70 persen saham pengendali di pelabuhan dengan periode sewa 99 tahun. Kesepakatan ini menjadi imbalan atas investasi Cina pada proyek tersebut.
Apa itu program BRI milik Cina?
Program Belt and Road Iniciative (BRI) merupakan program kebijakan dan investasi jangka panjang, yang diarahkan pada pembangunan infrastruktur dan percepatan perekonomian.
Program ini merupakan inisiatif dari Presiden Xi Jinping untuk menghidupkan kembali kejayaan jalur sutera, yang menghubungkan Cina dalam berbagai kerja sama regional serta konektivitas antar benua, baik dalam pembangunan, perdagangan, hingga investasi. Strategi ini melibatkan investasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran di 152 negara Eropa, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika.
Kata belt (sabuk) merujuk pada jalur darat yang berupa jalan dan rel kereta, disebut juga sebagai Sabuk Ekonomi Jalur Sutra. Sementara, road mengacu pada jalur laut atau Jalur Sutra Maritim di abad ke-21. Melalui BRI, berbagai masalah kesenjangan infrastruktur diharapkan bisa tuntas, sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik maupun Eropa Timur dan Eropa Tengah.
Utang Indonesia ke Cina
Besarnya peranan Cina sebagai pemberi utang ke negara berkembang, lantas bagaimana dengan Indonesia? Cina merupakan salah satu negara pemberi pinjaman terbesar bagi Indonesia, dan berada di posisi keempat, di bawah Singapura, Amerika Serikat, dan Jepang. Menurut laporan Bank Indonesia (BI), utang Indonesia ke Cina, per Mei 2022, utang ke Cina mengalami penurunan dalam dua bulan berturutan.
Pada Mei, utang Indonesia ke Cina mencapai nilai sebesar US$21,779 miliar atau sekitar Rp326,7 triliun–(kurs tengah BI 14 Juli Rp14.999/US$), turun sekitar Rp2,9 triliun dari sebelumnya. Dari total utang ke Cina, utang pemerintah hanya US$1,58 miliar, sementara utang swasta mencapai US$20,19 miliar.
Secara keseluruhan, BI melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) bulan Mei turun US$3,8 miliar dari bulan sebelumnya, menjadi US$406,3 miliar atau sekitar Rp6.094 triliun. Secara tahunan, ULN tersebut mengalami kontraksi sebesar 2,6 persen dari tahun sebelumnya.