Jakarta, FORTUNE - Presiden Direktur Bank Central Asia, Jahja Setiaatmadja, menyatakan perbankan Indonesia takkan terperangkap ke dalam masalah yang sama seperti yang dialami oleh Silicon Valley Bank (SVB) atau Silvergate karena bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan rintisan atau kripto. Kasus SVB atau Silvergate juga tidak akan berdampak langsung terhadap bank-bank Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis atau investasi pada produk sekuritisasi SVB.
Menurut Jahja saat berbicara di hadapan hadirin pada forum Fortune Indonesia Summit 2023 di Jakarta, Rabu (15/3), kasus SVB unik karena "mereka hanya menerima nasabah-nasabah besar. Kalau nasabah-nasabah ini keluar, mereka harus menyediakan dana yang besar," ujarnya.
Maksud penyuka capuccino panas itu dengan "nasabah-nasabah besar" adalah perusahaan-perusahaan rintisan yang selama ini menjadi kliennya. Perusahaan-perusahaan rintisan itu, katanya, "sorry to say, belum stabil. Banyak yang sukses jadi unicorn atau decacorn. Tapi banyak juga yang jadi popcorn: meletup-letup begitu."
SVB merupakan bank besar dalam lanskap perusahaan rintisan di Amerika Serikat. Perusahaan itu telah mengembangkan hubungan dengan komunitas modal ventura atau VC selama empat dasawarsa keberadaannya. SVB dipandang sebagai tulang punggung industri modal ventura di Amerika Serikat.
Sebelum kasus kebangkrutannya merebak, banyak perusahaan modal ventura di AS mengajak perusahaan-perusahaan dalam portofolionya untuk menarik uang dari SVB. "[SVB] terlalu percaya kepada treasury bonds yang dari segi credit risk boleh dikatakan zero risk. Yang mereka lupa, mereka taruh long term," ujarnya.
Komentar Jahja itu sejalan dengan pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, dalam siaran persnya pada Senin (13/3). Menurutnya, Indonesia setelah krisis keuangan tahun 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum, dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien dan stabil.
Pada saat ini, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik antara lain AL/NCD dan AL/DPK diatas threshold yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen jauh diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh CASA atau dana murah yang kian meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Kinerja lain seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan, dan profitabilitas masih terjaga dan tumbuh positif. Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.