Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Australia pada hari Rabu, 5 Juni 2024 memperkenalkan undang-undang yang mengharuskan perusahaan buy-now-pay-later (BNPL) untuk melakukan pemeriksaan kredit terhadap peminjam. Beleid tersebut dikeluarkan sebab layanan yang kerap disebut paylater makin berkembang pesat, terutama di kalangan anak muda.
Melansir Reuters, perusahaan BNPL biasanya menawarkan pinjaman jangka pendek tanpa bunga di tempat dengan pemeriksaan kredit minimal, sebagian besar digunakan oleh orang-orang yang kekurangan uang lantas berutang, bahkan terkadang lebih dari kemampuan dan kapasitas membayar mereka.
Hingga kini, sektor ini telah menghindari peraturan yang berlaku bagi penyedia kartu kredit karena perusahaan BNPL memperoleh sebagian besar pendapatan mereka melalui biaya pedagang, bukan pembayaran bunga. Di bawah undang-undang baru yang diusulkan, penyedia BNPL harus memiliki lisensi kredit Australia, yang menempatkan mereka di bawah pengawasan badan pengatur perusahaan, Australian Securities and Investments Commission (ASIC).
"Jika tampaknya dan bertindak seperti kredit, maka harus diatur sebagai kredit," kata Menteri Layanan Keuangan Stephen Jones dalam sebuah pernyataan, mengutip Reuters pada Rabu (5/6). Dia menambahkan, undang-undang tersebut akan membentuk kategori baru "kredit berbiaya rendah" untuk mencerminkan risiko dan biaya yang lebih rendah dari BNPL dibandingkan dengan bentuk kredit lain yang diatur.
Buy Now Pay Later diminati GenZ
Di Australia, laju buy-now-pay-later melonjak dipicu pembayaran stimulus selama Covid-19 dan suku bunga yang sangat rendah, tetapi kekhawatiran tentang pembayaran kembali meningkat seiring Australia berjuang melawan inflasi yang terus-menerus.
Konsumen Gen Z, atau mereka yang berusia antara 18 dan 25 tahun, membentuk mayoritas pengguna paylater, menurut data dari perusahaan fintech. Jika diperkirakan, dari sekitar dua belas perusahaan penyedia BNPL yang terdaftar, Australia memiliki sekitar 7 juta akun BNPL aktif dengan jumlah transaksi rata-rata sebesar A$136, menurut data dirilis tahun lalu.
Peter Gray, salah satu pendiri perusahaan BNPL Zip Co, menyambut baik pengumuman pemerintah dan mengatakan bahwa undang-undang tersebut akan sejalan dengan praktik perusahaan yang sudah ada. Melihat fenomena ini, Afterpay, yang dimiliki oleh Block Inc milik Jack Dorsey, tidak segera menanggapi permintaan untuk berkomentar kepada Reuters.
Jika Australia mulai melihat "kesehatan rekening" para calon pengguna BNPL, bagaimana di Indonesia? Aturan semacam BI Checking agar mengetahui riwayat perkreditan untuk mengetahui status kolektibilitas debitur, tak diberlakukan bagi calon pengguna BNPL. Bahkan kini tdak hanya perusahaan teknologi finansial (fintech) yang menawarkan skema pembiayaan ini, tetapi juga sejumlah bank besar kini ikut berpartisipasi. Apa dampaknya?
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding piutang pembiayaan perusahaan Pay Later per Maret 2024 mencapai Rp6,13 triliun, meningkat 23,90 persen secara tahunan (yoy). Dari jumlah tersebut, sebanyak 3,15 persen termasuk dalam kategori pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) bruto dan 0,59 persen NPF neto.
Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM, dan LJK Lainnya Agusman menilai kinerja pay later di perusahaan pembiayaan akan terus meningkat. "Seiring berkembangnya teknologi yang memudahkan masyarakat untuk melakukan transaksi belanja secara online," ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa (14/5/).
Sebelumnya, Agusman telah bertemu dengan perusahaan-perusahaan pembiayaan yang terlibat dalam layanan pay later. OJK meminta perusahaan-perusahaan tersebut untuk memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa internal. Selain itu, OJK juga meminta penyedia layanan pay later untuk menjaga aspek kehati-hatian dalam penyaluran kredit dan seleksi calon debitur.