Jakarta, FORTUNE - Impulsive buying menjadi salah satu faktor penyebab keuangan tidak sehat. Kondisi ini lazim dialami masyarakat akibat membeli suatu produk dalam jumlah banyak secara tiba-tiba tanpa melalui pertimbangan dan proses panjang. Hal itu tak terlepas dari perkembangan marketplace dan sarana pembayaran online di Tanah Air.
Melansir laman Amartha, impulsive buying adalah sebuah keputusan tidak terencana atau terjadi secara tiba-tiba dalam membeli sebuah produk atau jasa. Dalam pelaksanaannya, impulsive buying lebih menggunakan emosi dan perasaan dibandingkan logika.
Bagi impulsive buyers, ada lima tahap proses pembelian seperti pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pasca pembelian tidak akan berlaku lagi.
Peneliti di bidang psikologi, Bayley dan Nancarrow, mengatakan bahwa impulsive buying adalah perilaku yang hedonistik karena ditandai dengan kepuasan setelah terjadi. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan prinsip kegunaan yang mengedepankan manfaat dari sebuah barang yang ada.
Lalu, apa sebenarnya impulsive buying, cara mencegah, dan menciptakan keuangan yang sehat?
Apa Itu Impulsive Buying dan Faktor Pemicunya?
Impulsive buying adalah istilah dalam bahasa Inggris yang berarti belanja impulsif. Keputusan belanja tersebut dipicu berbagai faktor, seperti diskon atau promo, sehingga membuat seseorang tertarik membeli dan memanfaatkan kesempatan belanja dengan harga lebih terjangkau.
Faktanya, belanja impulsif membawa dampak negatif bagi pelakunya. Dampaknya yakni pemborosan, sehingga mengancam kesehatan finansial.
Fenomena belanja impulsif atau impulsive buying didorong berbagai faktor. Dengan mengetahui pemicunya. Melansir laman OCBC NISP, berikut ini faktor-faktor pemicu impulsive buying yang perlu Anda ketahui.
1. Faktor Strategi Pemasaran
Faktor pertama terjadinya impulsive buying adalah pengaruh strategi pemasaran dari penjual. Strategi pemasaran seperti promo, diskon, cashback dan pengaruh dari sales bisa mendorong perilaku impulsif. Karena hal-hal tersebut mampu menarik minat dan perhatian. Dengan demikian, muncul keinginan untuk membeli dan memilikinya.
2. Faktor Kepribadian
Faktor kepribadian dapat menjadi penyebab terjadinya pembelian impulsif. Aktivitas ini bisa terjadi karena diri merasa gengsi dan FOMO bila tidak mempunyai barang sedang tren masa itu. Sehingga demi meningkatkan citra dan popularitas, orang dengan sindrom belanja impulsif akan rela membeli apa saja yang menyokong tujuan tersebut.
3. Faktor Jenis Produk
Sifat intrinsik dan ekstrinsik produk juga mampu mendorong tingkah laku belanja impulsif. Dengan varian beragam, tampilan kemasan menarik, desain penataan, keterbatasan atau kelangkaan produk menimbulkan seseorang yang melihatnya menjadi tertarik dan berminat membelinya, bahkan meski sebenarnya tidak membutuhkannya.
4. Faktor Geografis dan Aspek Budaya
Faktor geografis dan budaya rupanya bisa mempengaruhi terjadinya aktivitas belanja impulsif. Faktanya, masyarakat dengan budaya mandiri tinggi cenderung mempunyai kebiasaan belanja impulsif dibandingkan masyarakat budaya kolektif. Salah satu alasan kenapa masyarakat berbudaya mandiri rentan terkena impulsive buying adalah karena tuntutan meredakan stres dengan bantuan orang lain seminim mungkin.
Indikator Impulsive Buying
Tidak semua perilaku berbelanja dalam jumlah banyak dapat dikategorikan sebagai belanja impulsif.
Ada beberapa indikator yang membuat perilaku berbelanja termasuk pada impulsive buying.
1. Suka Mencari Kepuasan Instan
Indikator perilaku belanja yang termasuk impulsive buying adalah suka mencari kepuasan instan.
Misalnya, ketika Anda merasa jenuh, bosan, atau stress dan membutuhkan kepuasan instan, maka Anda melakukan kegiatan berbelanja secara impulsif sebagai kepuasan diri.
2. Membeli Barang Tanpa Berpikir Dua Kali
Indikator impulsive buying, yakni melakukan pembelian barang tanpa pertimbangan. Misalnya, saat Anda tertarik pada suatu produk, kemudian langsung membelinya tanpa berpikir dua kali terkait manfaat dan kemampuan finansial. Perilaku ini termasuk dalam kategori belanja secara impulsif.
3. Membeli Barang Berlebihan dengan Dalih Self-Reward
Self-reward menjadi penghargaan bagi diri sendiri ketika sudah bekerja keras. akan tetapi, sering kali memunculkan perilaku impulsive buying.
Self-reward tidak salah apabila dilakukan dengan bijak. Namun, apabila berlebihan tanpa pertimbangan maka Anda bisa dikategorikan memiliki karakteristik sindrom belanja impulsif.
4. Menjadikan Window Shopping Sebagai Penghilang Stres
Poin berikutnya indikator impulsive buying adalah menghilangkan stress melalui window shopping. Namun, aktivitas ini membuat Anda sangat rentan melakukan terjebak dalam belanja impulsif.5.
5. Membeli Barang Mengikuti Tren Terbaru
Demi memenuhi kebutuhan sosial, gengsi, dan menghindari FOMO, Anda menuntut diri untuk berbelanja produk sesuai perkembangan zaman.
Kebiasaan membeli barang sesuai tren terbaru merupakan indikator impulsive buying, sebab barang yang dibeli belum tentu sesuai kebutuhan Anda.
6. Gampang Tergoda Promo dan Diskon
Promo dan diskon merupakan strategi marketing yang ampuh mendongkrak penjualan. Akan tetapi, Anda sering kali berpikir bahwa ini menjadi kesempatan atau peluang membeli barang dalam jumlah banyak dan lebih murah. Pertimbangkan kembali apakah Anda benar-benar membutuhkannya agar tidak terjebak perilaku impulsive buying.
Dampak Negatif Impulsive Buying
Perilaku impulsive buying tak hanya berdampak pada finansial, tetapi ada berbagai dampak negatif belanja impulsif lainnya sebagai berikut.
- Menjadikan diri semakin boros. Impulsive buying adalah membuat diri sendiri semakin boros.
- Menumpuk barang tidak terpakai. Perilaku belanja impulsif cenderung membuat Anda membeli barang tidak sesuai kebutuhan. Akibatnya banyak barang menganggur dan tidak terpakai di rumah.
- Rentan terjebak banyak kartu kredit. Impulsive buying membuat Anda menjadi rentan terjebak kredit terlalu banyak karena kegiatan belanja impulsif memerlukan dana yang tidak sedikit. Apalagi jika tidak dibarengi kemampuan finansial, maka akan semakin banyak utang.
- Tidak punya tujuan keuangan. Dampak impulsive buying adalah Anda menjadi susah merencanakan keuangan dan membuat tidak punya tujuan keuangan. Kesulitan finansial juga berdampak Anda tidak memiliki tabungan.
Agar dapat mencegah impulsive buying, maka Anda harus membedakan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs). Selain itu tentukan skala prioritas, membatasi penggunaan marketplace, hindari banyak kartu kredit, dan jangan menggunakan paylater
Demikian informasi seputar impulsive buying. Dengan mengenali perilaku ini, maka Anda bisa menghindari dan tidak terjebak dalam belanja impulsif terlebih yang berkedok self-reward berlebihan.