Jakarta, FORTUNE - Generasi Z dan milenial diperkirakan terjebak dalam fenomena doom spending. Kebiasaan ini tengah menjadi tren di kalangan kaum muda dan diyakini akan memicu masalah keuangan dan ekonomi.
Istilah doom spending awalnya muncul di platform media sosial, tapi mendapat perhatian lebih luas setelah laporan dari survei Credit Karma milik Intuit pada November 2023. Survei itu mengungkap bahwa Kebiasaan doom spending meningkat akibat kekhawatiran ekonomi dan stres finansial. Lalu, apa itu doom spending? Simak pembahasan berikut.
Apa itu 'doom spending'?
Menurut firma kurator kepailitan, Allan Marshall & Associates Inc, doom spending merupakan perilaku mengeluarkan uang secara impulsif atau berlebihan ketika seseorang sedang stres atau cemas.
Melansir Tech.co, doom spending merujuk pada perilaku menghabiskan uang untuk kepuasan instan atau kenikmatan sementara, alih-alih menabung untuk masa depan, seperti pensiun atau keadaan darurat. Sebab, pelakunya terlalu pesimistis terhadap masa depan.
Adapun survei Credit Karma mengaitkan istilah doom spending tersebut dengan temuan terkait perilaku belanja masyarakat Amerika Serikat. Beberapa hasil survei menunjukkan bahwa 96 persen responden merasa cemas terhadap situasi ekonomi. Lebih dari 27 persen warga dilaporkan melakukan pengeluaran secara impulsif sebagai upaya mengatasi stres, sementara hampir 32 persen menambah utang dalam enam bulan terakhir akibat meningkatnya biaya hidup.
Faktor-faktor seperti inflasi (56 persen), kenaikan biaya hidup (50 persen), dan masalah perumahan (23 persen) menjadi sumber utama tekanan keuangan. Akibatnya, 30 persen responden khawatir bahwa di masa depan mereka tidak akan bisa lagi menggunakan uang untuk hal-hal yang menyenangkan, sehingga mendorong mereka untuk mengeluarkan lebih banyak uang sekarang.
Mengapa doom spending meningkat?
Alasan di balik peningkatan pengeluaran tersebut belum sepenuhnya dipahami. Hal ini bisa disebabkan oleh gaya hidup, seperti sering bepergian atau kebiasaan belanja yang tidak terkontrol, atau juga karena tekanan dari kenaikan biaya sewa.
Selama satu dekade terakhir, inflasi sewa di Amerika Serikat meningkat sebesar 40,7 persen, jauh melebihi inflasi pada umumnya. Generasi muda lebih cenderung menyewa daripada memiliki rumah.
Meski ada indikasi bahwa generasi ini semakin sulit menabung, bukti mengenai mereka terus-menerus membuat keputusan keuangan buruk, seperti yang terlihat dalam tren doom spending, masih terbatas.
Cara menghindari doom spending
Walaupun pengeluaran berlebihan bisa memberikan kepuasan sementara, ada cara yang lebih sehat untuk mengelola stres. Berdasarkan US News, berikut tiga langkah yang bisa membantu menghindari doom spending.
Pertama, buatlah pengeluaran impulsif menjadi lebih sulit. Banyak konsumen membeli barang tanpa memikirkan kebutuhan atau dampaknya pada keuangan mereka. Memperketat metode pembayaran—seperti menghapus informasi kartu kredit dari toko online atau beralih ke penggunaan uang tunai—dapat memberi waktu lebih banyak untuk berpikir sebelum membeli.
Kedua, ubah kebiasaan penggunaan media sosial dan online. Belanja berlebihan sering kali dipicu oleh konten yang terlihat di media sosial, mirip dengan fenomena doomscrolling. Mengurangi waktu di media sosial atau hanya mengikuti konten positif dapat membantu mengurangi dorongan untuk belanja.
Ketiga, prioritaskan kesehatan keuangan untuk jangka panjang. Belanja impulsif untuk mengatasi stres saat ini bisa memperburuk masalah keuangan di masa depan. Mulai menabung, meskipun dalam jumlah kecil, akan menciptakan stabilitas keuangan dan mengurangi kecemasan. Menetapkan tujuan keuangan yang realistis juga bisa membantu memotivasi untuk menabung lebih banyak.
Dengan memahami konsep doom spending dan cara mengatasinya, Anda dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan dan menghindari dampak negatif dari perilaku tersebut. Semoga bermanfaat.