Jakarta, FORTUNE - Pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai awal 2025.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kebijakan tersebut merupakan bagian dari strategi pemerintah meningkatkan penerimaan negara sekaligus menjaga stabilitas ekonomi. Menurutnya, tarif PPN Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan banyak negara lain, baik sesama negara berkembang (emerging markets) maupun anggota G20.
"Kenaikan ini sudah dipikirkan secara sangat detail, mempertimbangkan kebutuhan dan situasi masyarakat," kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12).
Dia memaparkan perbandingan tarif PPN Indonesia dengan berbagai negara berkembang. Di Brasil, misalnya, tarif PPN mencapai 21,4 persen, didukung oleh rasio pajak (tax ratio) sebesar 17,3 persen. Sementara itu, India menetapkan tarif PPN sebesar 18 persen dengan tax ratio 16 persen. Turki juga memiliki tarif PPN cukup tinggi, yaitu 20 persen, dengan rasio pajak 15,6 persen.
Di kawasan Asia, Filipina menerapkan tarif PPN sebesar 12 persen, dengan tax ratio mencapai 14,46 persen. Di bagian benua lain, Meksiko menetapkan tarif PPN 16 persen, dengan rasio pajak yang sama seperti Filipina, yaitu 14,46 persen.
"Indonesia saat ini dengan PPN 11 persen dan tax ratio 10,4 persen memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki sistem perpajakan," ujarnya.
Dampak terhadap masyarakat dan ekonomi
Meski tarif PPN dinaikkan, Sri Mulyani memastikan pemerintah tetap berhati-hati dalam menjalankan kebijakan ini. Beberapa barang dan jasa esensial masih dikecualikan dari PPN, sehingga dampak langsung ke masyarakat dapat diminimalisasi.
"Sebanyak 47 persen Insentif perpajakan atau sekitar Rp209,5 triliun akan dinikmati oleh rumah tangga, yang terbebas atau mendapat pengurangan PPN," ujarnya.
Selain itu, insentif sebesar Rp137,4 triliun (30 persen) diberikan untuk mendukung dunia usaha, dan Rp98,6 triliun (22 persen) dialokasikan untuk membantu UMKM.
Sri Mulyani juga menegaskan bahwa konsumsi rumah tangga, inflasi inti, dan kepercayaan konsumen masih stabil meski tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022.
"Konsumsi domestik kita tetap tumbuh dengan baik, dan indikator lainnya seperti jumlah pekerja formal serta setoran PPh 21 menunjukkan peningkatan signifikan," ujarnya.
Dia mengatakan peningkatan tarif PPN menjadi 12 persen juga dimaksudkan untuk mendukung pembiayaan pembangunan. Pada 2025, pemerintah mengalokasikan insentif perpajakan hingga Rp445,5 triliun, dengan Rp265,6 triliun berasal dari PPN.
"Insentif perpajakan ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2020, yang nominalnya mencapai Rp145,5 triliun," kata Sri Mulyani.
Pemerintah juga memastikan bahwa insentif perpajakan ini dilaporkan secara transparan, sesuai dengan standar internasional. Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kami tetap peka terhadap kebutuhan barang dan jasa masyarakat serta pelaku ekonomi. Kebijakan ini diharapkan menciptakan keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif," ujarnya.