Jakarta, FORTUNE - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan total aset asuransi dan dana pensiun di Indonesia masih kurang dari 20 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2020.
Jika berkaca dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, Indonesia tertinggal jauh. Pasalnya, dua Negeri Jiran itu masing-masing memiliki total aset asuransi dan dana pensiun masing-masing 60 persen dan 85 persen dari PDB.
"Oleh karena itu, potensi asuransi dan dana pensiun yang belum berkembang cukup tinggi," ujar Airlangga dalam keynote speech Indonesian Financial Group International (IFG) Conference 2022 di The Ritz Carlton, Jakarta, Senin (30/5).
Menurutnya, selama ini masih cukup banyak pekerja di Tanah Air yang belum memiliki akses terhadap dana pensiun.
Dari catatan OJK, aset industri dana pensiun di Indonesia tumbuh 4,07 persen secara tahunan mencapai Rp329,55 triliun pada 2021. Pertumbuhan ini melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan 7,12 persen secara tahunan menjadi Rp316,67 triliun pada 2020.
Hingga akhir 2021, OJK mencatat pelaku dana pensiun di Indonesia hanya sebanyak 212 perusahaan/instansi.
Potensi asuransi
Di sisi lain, ruang tumbuh untuk sektor asuransi sebenarnya cukup besar dibandingkan penetrasi sektor tersebut di Indonesia yang termasuk terendah di kawasan, sehingga Indonesia diharapkan setidaknya dapat menyamai Malaysia.
Apalagi, kontribusi asuransi dan dana pensiun dalam pendalaman dan perluasan pasar keuangan sangat dibutuhkan.
Hal tersebut, kata Airlangga, sangat penting bagi stabilitas sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada tahun-tahun mendatang.
Selama pandemi Covid-19, sektor asuransi telah memainkan peran penting dalam mendukung kebutuhan keuangan untuk mengatasi biaya tinggi Covid-19. "Ini terlihat dari kenaikan klaim jaminan kesehatan terkait Covid-19 yang cukup signifikan, serta dukungan pemerintah melalui APBN," ujarnya.
Digitalisasi jadi kunci perkembangan sektor asuransi
Sementara itu, Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan sektor asuransi dan dana pensiun memang perlu melakukan tranformasi besar. Hal ini dimulai dengan memberikan literasi dan produk yang tepat kepada konsumen. Diharapkan, sektor ini menjadi produktif dan efisien.
Kendati demikian, tranformasi ini belum bisa dilakukan secara cepat. “Mungkin jangka waktunya butuh 5-10 tahun,” ujarnya.
Guna mempercepat, Kartika menyebut digitalisasi menjadi kunci. Asuransi diharapkan bisa masuk ke ekosistem digital, dan produk-produk dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarakat. “Asuransi harus melompat, dan semoga 2-3 tahun ke depan asuransi bisa menjadi produk yang didistribusikan dan bisa diakses platform digtal termasuk proteksinya,” katanya.