Jakarta, FORTUNE - Indonesia dapat lolos dari perangkap status negara berpendapatan menengah (middle income trap) melalui pengembangan sektor keuangan, terutama via dana pensiun. Sebab, bila dana pensiun dimanfaatkan secara optimal, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional diperkirakan mampu menyentuh 30 persen, atau sekitar Rp500 triliun.
"Kalau kita pakai standar OECD, itu bisa 30 persen lebih. Kalau di 2021 PDB kita sekitar US$1,1 triliun. Itu berarti dana pensiun kita potensinya bisa US$330 juta atau hampir Rp500 triliun," ujar Head of Indonesia Financial Group (IFG) Progress, Reza Yamora Siregar, dalam konferensi pers, Selasa (16/5).
Potensi itu terlihat dari porsi ketenagakerjaan nasional. Saat ini, jumlah pekerja formal yang ada di Indonesia mencapai 50 persen dari total tenaga kerja. Dari jumlah itu, hanya 25 persen pekerja formal yang telah mengakses dana pensiun.
Jadi, masih ada 25 persen pekerja formal atau bahkan lebih yang dapat didorong untuk mengakses dana pensiun. Jumlah itu disebut amat besar dan akan memberikan dorongan lebih terhadap kontribusi dana pensiun ke perekonomian dalam negeri.
"Itu besar sekali. Kalau kita bisa punya 30 persen dari PDB tadi, kita pasti akan berkurang ketergantungan terhadap utang luar negeri, terhadap investasi asing langsung. Dan itu yang dilakukan oleh Malaysia dan Singapura. Mereka mengumpulkan dana pensiun, dikelola sendiri," kata Reza.
Pertumbuhan dana pensiun dapat mengerek Indonesia keluar dari status middle income trap seperti yang dicanangkan pemerintah. Hal yang perlu dilakukan ialah melakukan pembandingan atau merujuk keadaan dan perkembangan dana pensiun di negara maju saat ini.
Upaya untuk menjadi negara maju
Reza mengatakan dibutuhkan pendapatan per kapita US$22.000 untuk menjadi negara maju. Saat ini, negara-negara maju dengan pendapatan per kapita itu memiliki sektor keuangan dengan ukuran hingga 300 persen terhadap PDB.
"Di 2020, [ukuran sektor keuangan] kita itu hanya 120 persen, masih jauh sekali. Jadi kalau kita tidak bisa menumbuhkan sektor keuangan, kita sulit menjadi negara maju," ujarnya.
Hal lain yang dapat dilakukan ialah melakukan pendalaman pasar keuangan, termasuk di dalamnya dana pensiun. Pasalnya sektor keuangan Indonesia saat ini masih cukup dangkal. Kontribusinya terhadap PDB secara total bahkan tidak menyentuh 10 persen, kata Reza. Jurang dengan perbankan yang mampu mencapai 60 persen terlalu jauh.
Itu menunjukkan adanya ketimpangan di dalam sektor keuangan dalam negeri. Padahal, kata Reza, perbankan juga membutuhkan dukungan dari asuransi untuk menumbuhkan bisnisnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan munculnya instabilitas pada sektor keuangan Indonesia.
"Asuransi itu mengansuransi the whole economy, termasuk perbankan," katanya.
Minimnya asuransi dan dana pensiun
Berdasarkan laporan Statistik Bank Indonesia pada 2023, kontribusi industri asuransi dan dana pensiun terhadap PDB masih sangat terbatas. Kontribusi kedua industri ini hanya berkisar 1 persen dalam enam tahun terakhir. Bahkan pada 2022 menurun menjadi hanya 0.86 persen. Itu proporsi terendah dalam enam tahun terakhir.
Direktur Utama IFG Hexana, Tri Sasongko, mengungkapkan kunci utama untuk mengembangkan sektor keuangan, terutama pada dana pensiun, ialah melalui peningkatan literasi masyarakat. Menurutnya masih banyak salah pemahaman publik mengenai dana pensiun.
"Dana pensiun yang menjadi bagian dari asuransi itu mestinya dipahami sebagai proteksi. Dengan adanya dana pensiun, itu merupakan cara menjaga standar dan kualitas hidup ketika usia tidak lagi produktif," katanya.
Sementara itu, Associate Director untuk Penelitian LPEM FEB UI, Jahen Fachrul Rezki, menyatakan pengembangan dan pendalaman sektor keuangan nasional dapat dilakukan melalui upaya peningkatan pertumbuhan dana pensiun. Itu juga menjadi hal yang penting lantaran Indonesia memiliki bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan.
Bonus demografi itu semestinya bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan dana pensiun. "Itu berbicara 20-30 tahun ke depan. Masalahnya, ketika bicara pensiun, orang itu hanya melihatnya dari sisi jangka pendek. Karena ketika kita bicara pensiun, kita tidak tahu akan seperti apa karena itu masih lama. Jadi, sulit dibayangkan. Orang tidak akan terlalu memikirkan hal itu," ujar Jahen.