Jakarta, FORTUNE – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyatakan Indonesia tengah menghadapi tekanan ekonomi signifikan, dengan arus modal keluar mencapai US$0,75 miliar dan depresiasi rupiah 1,39 persen secara bulanan, dari Rp15.770 menjadi Rp15.990 per dolar AS.
Situasi tersebut dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap potensi perang dagang yang diinisiasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, menyarankan Bank Indonesia (BI) mempertahankan Suku Bunga Acuannya pada level 6,00 persen dalam rapat Dewan Gubernur bulan ini demi menanggapi situasi tersebut.
"Kekhawatiran terkait perang dagang semakin nyata setelah pernyataan Trump pada 2 Desember yang menyebutkan rencana tarif sebesar 25 persen untuk semua impor dari Kanada dan Meksiko, serta tambahan 10 persen untuk produk dari Cina," kata dia dalam laporannya yang dikutip Rabu (18/12).
Pengumuman Trump tersebut langsung mendorong penguatan dolar AS karena investor memindahkan asetnya dari negara berkembang, termasuk Indonesia, ke instrumen berbasis dolar AS.
Akibatnya, Indonesia mengalami arus keluar modal sekitar US$0,75 miliar sejak pertengahan November, yang terdiri dari US$0,35 miliar dari aset obligasi pemerintah dan aksi jual bersih asing sebesar US$0,40 miliar di pasar modal domestik.
Aksi jual investor asing terhadap obligasi pemerintah Indonesia terutama terjadi pada obligasi jangka pendek. Ini tecermin pada kenaikan imbal hasil obligasi tenor 1 tahun dari 6,33 persen pada 19 November menjadi 6,74 persen pada 13 Desember.
Sementara itu, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun hanya mengalami peningkatan tipis dari 6,93 persen menjadi 7,05 persen pada periode yang sama. Kurva imbal hasil yang menyempit ini mengindikasikan kekhawatiran investor terhadap prospek ekonomi jangka pendek Indonesia.
Penurunan cadangan devisa dan intervensi bank indonesia
Seiring meningkatnya tekanan pada rupiah sejak Oktober, Cadangan Devisa Indonesia turun sekitar US$1 miliar, dari US$151,2 miliar pada Oktober menjadi US$150,2 miliar pada November.
Penurunan tersebut disebabkan oleh intervensi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar serta pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Meski begitu, posisi cadangan devisa Indonesia masih mencukupi, setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri, jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar tiga bulan impor.
Pada sisi eksternal, potensi kebijakan tarif dan perang dagang AS menjadi penggerak utama arus modal internasional dalam beberapa pekan terakhir. Situasi ini mendorong pelemahan mata uang negara berkembang akibat aksi investor yang mengalihkan asetnya.
Selain itu, pasar juga memperkirakan peluang hingga 96 persen bahwa bank sentral Amerika Serikat atau Fed akan menurunkan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan FOMC mendatang, yang turut memengaruhi pergerakan pasar global.