Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja menyoroti potensi penurunan BI Rate di sisa tahun 2024. Ia membeberkan terdapat beberapa faktor pendorong ruang penurunan BI Rate, seperti likuiditas perbankan hingga nilai tukar rupiah yang terjaga di bawah level Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
“Mereka (Bank Indonesia) tentu akan melihat likuiditas di pasar itu bagaimana, apakah cukup liquid, apakah memang ketat, kemudian mereka akan melihat kurs, bagaimana kurs rupiah seperti sekarang masih di bawah Rp16.000,” ujar Jahja dalam Paparan Kinerja Triwulan III BCA, Rabu (23/10).
Dalam kondisi demikian, BI Rate berpotensi bisa diturunkan sebesar 0,25 persen. Tetapi, kondisi ini berpotensi tidak akan terjadi jika rupiah menembus level Rp16.000.
“Mungkin masih ada kemungkinan penurunan, misalnya 0,25 persen, tapi kalau seandainya mendekati Rp16.000 apakah dipertahankan atau tidak, BI mempunyai realistik lebih banyak dari kaca mata kita,” kata dia.
Jahja menuturkan, Bank Indonesia (BI) tentu memiliki keputusan tersendiri untuk menaikkan atau menurunkan BI Rate. Dalam hal ini, BI memperhatikan tingkat inflasi hingga data makro perekonomian terkait sebelum memutuskan perubahan level BI Rate.
“Mereka ada data, ada segala makronya, ada bagaimana harus terjaga inflasi. Kesimpulannya nanti adalah bahwa semua data ini akan diolah dan tentu akan ada hubungan dengan BI Rate,” ujar Jahja.
Adapun saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu (23/10) pagi melemah 38 poin atau 0,24 persen menjadi Rp15.605 per dolar AS dari posisi sebelumnya sebesar Rp15.567 per dolar AS.
Dalam kesempatan yang sama, PT Bank Central Asia Tbk dan entitas anak membukukan peningkatan total kredit sebesar 14,5 persen secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp877 triliun per September 2024.
Laba bersih BCA dan entitas anak tumbuh 12,8 persen YoY menjadi Rp41,1 triliun pada sembilan bulan pertama tahun 2024, ditopang ekspansi pembiayaan berkualitas serta peningkatan volume transaksi dan pendanaan.
Penyaluran pembiayaan per September 2024 ditopang kredit korporasi yang menjadi segmen dengan pertumbuhan tertinggi, naik 15,9 persen YoY mencapai Rp395,9 triliun.
Kredit komersial naik 11,8 persen YoY menjadi Rp135,3 triliun, dan kredit UKM tumbuh 14,2 persen YoY hingga Rp120,1 triliun. Total portofolio kredit konsumer naik 13,1 persen YoY menjadi Rp216,5 triliun, didorong KPR yang tumbuh 10,7 persen YoY mencapai Rp130,4 triliun serta KKB sebesar 17,9 persen YoY menjadi Rp64,1 triliun. Outstanding pinjaman konsumer lainnya (mayoritas kartu kredit) naik 15,0 persen YoY mencapai Rp21,9 triliun.
Sementara itu, penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan tumbuh 10,7 persen YoY menyentuh Rp214 triliun per September 2024, berkontribusi hingga 24,3 persen dari total portofolio pembiayaan.
Pertumbuhan kredit diikuti dengan terjaganya kualitas pembiayaan perseroan. Rasio loan at risk (LAR) mencapai 6,1 persen per September 2024, membaik dari posisi setahun lalu di angka 7,9 persen dan rasio kredit bermasalah (NPL) berada di tingkat yang terjaga 2,1 persen.