Jakarta, FORTUNE - Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) jadi salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengelola perekonomian. Pasalnya, saat ini nilai tukar rupiah terhadap US$ sudah jauh di atas asumsi makro APBN 2022 yang di angka Rp14.350 per US$. Di akhir perdagangan Senin (1/11) rupiah ditutup melemah 30 poin di level Rp15.627 per US$.
Alasan pelemahan rupiah bisa berlangsung lama karena itu jadi menjadi hal yang penting diketahui agar pemerintah dapat mencari resep jitu untuk mengurangi dampaknya terhadap perekonomian.
Meski demikian, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Edi Susanto mengatakan rupiah masih relatif lebih kuat dibandingkan mata uang negara-negara tetangga.
Sebagai contoh, sepanjang September lalu, rupiah hanya melemah 2,53 persen, jauh lebih baik dibandingkan Ringgit Malaysia yang mencapai 3,5 persen; Peso Filipina yang sebesar 4,25 persen; Bath Thailand yang sebesar 3,36 persen; dan Won Korea yang bahkan mengalami kontraksi hingga 6,5 persen.
"Dari aspek itu saya melihatnya blessing kita dalam situasi seperti ini, jadi mendukung hasil ekspor kita yang masih cukup kuat berkontribusi memberikan suplai di pasar membantu pelemahan rupiah kita," ujarnya.
Lantas apa saja alasan pelemahan rupiah bisa berlangsung lama?
Kenaikan Suku Bunga The Fed
Menurut Edi, kondisi yang menyebabkan pelemahan rupiah saat ini didasari oleh sentimen penguatan dolar AS. Penguatan tersebut tak hanya membuat rupiah melemah melainkan juga mata uang negara-negara utama maupun emerging market.
Sebagai gambaran, indeks dolar atau USDX yang masih di bawah 100--tepatnya di angka 97--pada April terus mengalami penguatan sampai di titik 114,7 pada September lalu. "Sekarang kurang lebih 110,89. Jadi ini yang sedang terjadi, karena pelaku pasar investor mencari safe haven di US$ cash," tuturnya.
Penguatan dolar ini disebabkan oleh faktor kenaikan suku bunga acuan AS/ Fed fund rate yang merepresentasikan suku bunga pinjaman harian antar bank di sana. Kenaikan FFR membuat tingkat pengembalian investasi pada aset-aset berdenominasi dolar AS menjadi semakin lebih menarik dan aman. Sebagai contoh, tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS, yang saat ini, untuk tenor 10 tahun sudah di atas 4 persen, atau tertinggi sejak krisis global 2008.
Karena itu, langkah agresif The Fed yang diperkirakan masih akan berlangsung bisa jadi alasan pelemahan rupiah bisa cukup panjang.
Inflasi
Inflasi di negara-negara maju seperti AS juga bisa menjadi alasan pelemahan
rupiah. Sebab, agresivitas The menaikkan suku bunga ditengarai inflasi yang tak kunjung beres sejak awal tahun ini.
Memang, tingkat inflasi tahunan AS sudah melandai sejak Juni yang mencapai 9,1 persen menjadi 8,2 persen pada September. Namun level inflasi AS saat ini tetap tertinggi sejak era great inflation 1980-an.
Salah satu penyebab inflasi di negeri Paman Sam tersebut adalah harga energi yang melambung. Bahkan, Presiden AS Joe Biden sampai mengancam menerapkan windfall tax kepada perusahaan minyak jika mereka tak segera membantu menurunkan harga BBM.
Pengetatan Kuantitatif
Selain kenaikan suku bunga, rencana The Fed dalam normalisasi moneter dengan menyedot lebih dari US$522 miliar uang dari sistem keuangan AS sampai akhir 2022, dan lebih dari US$1,1 triliun di akhir 2023 juga bisa membuat indeks dolar menguat dan mata uang lain melemah. Kebijakan ini adalah lawan atau kebalikan dari quantitative easing (QE)--dikenal juga dengan cetak uang--yang gencar dilakukan selama pandemi.
Langkah Quantitative Tightening (QT) ini dilakukan The Fed antara lain dengan lego besar-besaran aset berupa obligasi pemerintah AS dan mortgage-backed securities (di Indonesia, sejenis kontrak investasi kolektif efek beragun aset/KIK EBA) yang ada di neracanya sejak Juni lalu. Menurut perhitungan The Fed, tiap US$1,5 triliun penjualan asetnya setara dengan efek kenaikan suku bunga acuan 100 bps atau 1 persen.
Eksportir tahan dolar
Dampak kenaikan suku bunga The Fed yang bisa memperpanjang pelemahan rupiah adalah tingginya simpanan valuta asing (valas), termasuk Indonesia. Data Bank Indonesia menunjukkan, dana pihak ketiga (DPK) valas perbankan tumbuh 12,1 persen secara tahunan menjadi Rp 1.050 triliun pada Agustus 2022.
Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dari DPK rupiah yang hanya naik 7,6 persen menjadi Rp 6.305 triliun. Pertumbuhan DPK valas pada September memang melambat menjadi 8,4 persen. Namun pertumbuhan kredit, yang mencerminkan kebutuhan akan valas naik signifikan, bertumbuh 18,1 persen. Salah satu penyebab peningkatan DPK valas keuntungan para eksportir yang tidak dikonversi ke rupiah karena prospek suram ekonomi ke depan.
Pembayaran Dividen
Meski aliran modal keluar Indonesia relatif lebih baik, namun aktivitas perusahaan yang mayoritas kepemilikannya asing seperti pembagian dividen membuat dolar dalam negeri mengalami peningkatan permintaan dan dapat menyebabkan pelemahan rupiah.
Apalagi, jumlahnya cukup banyak dan mereka menghasilkan pendapatan dalam bentuk rupiah yang harus ditukarkan menjadi dolar. Ini karena orientasi pasar mereka ada di dalam negeri, dan bukan untuk tujuan ekspor.