Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan poin-poin yang akan diubah dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hal tersebut ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi XI DPR RI, Senin (13/9).
Menurutnya, revisi tersebut penting sebagai salah satu bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk memperluas basis pajak, menciptakan asas keadilan dan kesetaraan, menguatkan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan.
"Konsolidasi fiskal terutama akibat pandemi melalui penyehatan APBN perlu ditunjang dan perlu dilakukan reformasi perpajakan dalam rangka mencapai fondasi perpajakan yang adil, sehat, efektif dan akuntabel," ujarnya.
Ia melanjutkan RUU tersebut lima kelompok materi utama yang masing-masing berisi pengaturan yang menjadi inti dari perubahan UU No.6/1983 yang berkaitan dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, serta pajak karbon.
"Sesuai substansi yang akan diatur dalam RUU ini maka diusulkan perubahan 15 pasal dalam UU KUP, 7 pasal dalam UU PPh, 7 pasal dalam UU PPN dan PPnBM, dan perubahan 1 pasal dalam UU Cukai serta penambahan 1 pasal dalam pengenaan pajak karbon," jelas Sri Mulyani.
Berikut perinciannya:
Perubahan Materi UU KUP
Perubahan materi ini akan mengatur mengenai asistensi penagihan pajak global. Terutama dalam hal pemberian bantuan penagihan aktif maupun permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra yang dilakukan secara resiprokal.
Hal ini tertuang dalam Pasal 20A UU KUP. "Artinya kita bisa membantu negara lain yang memiliki wajib pajak di Indonesia atau kita mendapatkan bantuan dari negara lain untuk menagihkan pajak dari wajib pajak kita yang berlokasi di negara lain," ujarnya.
Klaster ini juga mengatur kesetaraan dalam pengenaan sanksi dalam upaya hukum dalam bentuk pembatalan sanksi mencapai 100 persen oleh pemerintah apabila putusan Mahkamah Agung atas sengketa pajak dimenangkan oleh wajib pajak. "Serta pengenaan sanksi 100 persen kepada wajib pajak apabila putusan MA atas sengketa pajak dimenangkan pemerintah seperti tertuang dalam Pasal 27," imbuhnya.
Selain itu, ada pula Pasal 27 C yang mengatur bahwa Mutual Agreement Procedures (MAP) antara otoritas pajak Indonesia dan negara lain tetap dapat ditindaklanjuti walaupun terdapat putusan banding dan peninjauan kembali. "Sepanjang objek yang diajukan MAP tidak diajukan banding atau peninjauan kembali oleh wajib pajak," jelas Sri Mulyani.
Berikutnya, dalam Pasal 30 A, terdapat ketentuan baru berupa penunjukan pihak lain untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE).
Hal ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan transaksi ekonomi yang semakin meluas dengan teknologi digital, sehingga pemerintah dapat menunjuk pihak lain seperti penyedia sarana transaksi elektronik sebagai pemotong atau pemungut pajak atas transaksi yang melalui atau melibatkan pihak lain tersebut
Klaster pertama ini juga menyangkut program peningkatan kepatuhan wajib pajak di mana terdapat aturan yang memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melaporkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.
Ini dapat diberikan melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) dan pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 2019. "Ini termaktub dalam Pasal 37 B hingga 37 I," sebut Sri Mulyani.
Aturan terakhir dalam klaster ini adalah penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan ultimum remedium, yaitu pemberian kesempatan bagi wajib pajak untuk mengganti kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi walaupun kasus pidana perpajakan sudah dalam proses penuntutan. Ini tertuang dalam Pasal 44 A dan 44 B.
Revisi UU PPh
Dalam klaster ini terdapat pengaturan kembali fringe benefit atau natura di mana pemberian natura dianggap menjadi penghasilan bagi penerima.
Di samping itu terdapat perubahan tarif dari PPh orang pribadi yakni sebesar 35 persen untuk orang pribadi yang penghasilannya di atas Rp5 miliar per tahun. "Ini untuk mencerminkan keadilan, terdapat di Pasal 17," kata Sri Mulyani.
Berikutnya, dalam Pasal 18, diatur pula instrumen pencegahan penghindaran pajak (GAAR) dengan memberikan landasan bagi pemerintah untuk melakukan koreksi yang diindikasikan dapat mengurangi, menghindari, dan/atau menunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ada pula penyesuaian insentif wajib pajak UMKM dengan omzet maksimal Rp50 miliar dalam Pasal 31 E. "Ini mengingat insentif UMKM telah diatur dalam PPh final UMKM," jelas Ani.
Terakhir, dalam Pasal 31 E, diatur penerapan alternative minimum tax yaitu pengenaan tarif pajak tertentu dari omzet terutama bagi wajib pajak badan yang menyatakan rugi namun tetap dapat beroperasi atau bahkan melakukan ekspansi.
Revisi UU PPN
Klaster ini mengatur perluasan basis PPN dengan pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan dan ketepatan sasaran. Hal ini tertuang dalam Pasal 4A dan Pasal 16 B.
Kebijakan ini akan dilaksanakan melalui pengenaan PPN bagi seluruh barang dan jasa, kecuali yang sudah menjadi objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) seperti pajak restoran, hotel, parkir, dan hiburan.
Selain itu pengecualian juga diberikan pada pada uang dan emas batangan untuk cadangan devisa, serta surat berharga, jasa pemerintahan umum yang tidak dapat disediakan pihak lain, dan jasa penceramah keagamaan.
Ada pula fasilitas yang tidak dipungut PPN atas barang dan jasa tertentu yang dilakukan untuk mendorong ekspor di dalam dan luar kawasan tertentu serta hilirisasi sumber daya alam. Kemudian, untuk fasilitas PPN yang dibebaskan atas BKP/JKP strategis diubah menjadi fasilitas PPN tidak dipungut, dan kelaziman serta perjanjian internasional.
Untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif yang lebih rendah dari tarif normal, atau dapat tidak dipungut PPN, serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberikan kompensasi dengan pemberian subsidi.
"Dengan demikian, asas keadilan semakin diwujudkan. Karena bisa saja kita bicara tentang hal yang sama yaitu makanan pokok, pendidikan maupun kesehatan, namun range dari konsumsi ini bisa dari yang sangat basic hingga yang paling sophisticated dan menyangkut tingkat pendapatan yang sangat tinggi," jelasnya.
Kedua, terdapat kebijakan pengenaan PPN multitarif di mana tarif umum PPN dari 10 persen menjadi 12 persen dan kemudian diperkenalkan skema multitarif dengan kisaran 5 persen sampai 25 persen pada barang dan jasa.
Klaster ini juga mengatur kemudahan dan kesederhanaan PPN yaitu penerapan PPN final untuk barang dan jasa kena pajak (BKP/JKP) dengan tarif tertentu yang dihitung dari peredaran usaha dengan besaran tarif lebih rendah dari 5 persen.
Perubahan UU Cukai
Klaster ini berkaitan dengan pengaturan penetapan objek cukai yaitu penambahan objek berupa cukai produk plastik.
Pajak Karbon
Klaster ini mengatur pengenaan pajak karbon untuk memulihkan lingkungan. Tarif yang akan dikenakan sebesar Rp75 per kilogram CO2 atau ekuivalen. "Ini adalah pasal baru," tandas Sri Mulyani.