Jakarta, FORTUNE - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, mengatakan lembaganya tengah merevisi taksonomi hijau menjadi taksonomi berkelanjutan Indonesia dengan fokus pada sektor energi dan mineral.
Hal ini dilakukan untuk memastikan keselarasan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek sosial dan perkembangan terkini pada forum internasional, seperti ASEAN Taxonomy.
"Saya percaya bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan transisi secara bertahap, sekaligus beriringan untuk mempertahankan pertumbuhan dan ketahanan ekonomi yang berkelanjutan," ujarnya dalam Indonesia International Conference for Sustainable Finance and Economy 2023 (IICSFE 2023), Rabu (8/11).
Dalam kesempatan sama, Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK, Henry Rialdi, mengatakan taksonomi berkelanjutan ditargetkan selesai dibahas dan segera diluncurkan tahun ini.
Tantangan utama dalam mengembangkan taksonomi berkelanjutan, menurut Henry, adalah mempertimbangkan pembiayaan ke sektor batu bara. Pasalnya, tak ada referensi yang dapat digunakan, baik itu taksonomi regional maupun taksonomi di negara lain.
"Ini cukup sensitif, dalam arti bahwa jika melihat taksonomi di seluruh kelompok, tidak ada yang berani menyentuh area batu bara: penambangan, pembangkit listrik. Tetapi, dari perspektif transisi Indonesia, dari ekonomi (berbasis fosil) ini ke ekonomi yang lebih hijau, perlu didukung," katanya.
"Kita tidak bisa mengesampingkan pembiayaan untuk area ini. Ini adalah tantangan ketika kita melihat dan mengukur taksonomi lain. Kita tidak dapat menemukan panduan tentang bagaimana mengelola transisi terutama untuk pembangkit listrik dan pertambangan ke ekonomi yang lebih hijau dari area pembangkit listrik batu bara," ujar Henry.
Karena itulah OJK perlu menyeimbangkan antara kredibilitas taksonomi berkelanjutan Indonesia—sesuai standar yang telah ditetapkan secara internasional—dengan kepentingan ekonomi Indonesia.
"Selain itu, saya pikir juga terkait dengan pengembangan kriteria teknis industri, atau kemampuan pengembangan industri untuk memenuhi kriteria teknis yang ditetapkan oleh standar internasional juga perlu ditingkatkan, dalam arti beberapa penyesuaian diperlukan untuk Indonesia dalam mengembangkan kriteria teknis. Ini adalah dua tantangan utama untuk mengembangkan ekonomi dan taksonomi tahun ini," katanya.
Mineral kritis
Hery mengatakan ada sejumlah sudut pandang berbeda dalam taksonomi baru tersebut dibandingkan taksonomi hijau. Jika taksonomi Indonesia sebelumnya berfokus pada aspek hijau berbagai sektor, revisi taksonomi ini akan memasukkan aspek sosial, hak asasi manusia, hingga hak buruh.
Dengan demikian, kerangka kerjanya akan didasarkan pada taksonomi ASEAN yang telah dikembangkan dengan menggabungkan beberapa sektor utama, termasuk aspek sosial yang akan dimasukkan ke dalam taksonomi itu sendiri.
Selain itu, taksonomi ini akan lebih difokuskan pada sektor-sektor yang disebutkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
"Kami juga melakukan benchmarking terhadap taksonomi ASEAN, karena taksonomi ini juga akan memperkenalkan tidak hanya faktor kualitatif yang mengevaluasi berbagai sektor tetapi juga variabel kuantitatif berbasis ilmiah dalam taksonomi itu sendiri, tetapi tentu saja harus seimbang antara interoperabilitas dan kebutuhan ekonomi Indonesia sendiri," kata Dodi,
Lantaran tiap negara memiliki kepentingan dan tujuan ekonomi yang berbeda, maka dalam revisi taksonomi ini akan ada sejumlah sektor yang terdampak dan disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri, salah satunya persoalan mineral kritis.
"Pertimbangan terhadap sektor mineral kritis, seperti yang Anda tahu, ini adalah bagian penting untuk pengembangan ekonomi hijau. Tanpa mineral kritis itu sendiri, kesenjangan antara pasokan dan pertumbuhan ekonomi hijau akan sangat besar. Jadi, pertimbangan harus diberikan pada bagaimana kita memperlakukan bahan baku kritis ini untuk mendukung keuangan berkelanjutan," ujarnya.