Jakarta, FORTUNE - Runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) membawa kabar buruk bagi para pemodal ventura (venture capital) dan perbankan yang berfokus pada teknologi dan perusahaan rintisan. Bahkan, bank-bank regional di Amerika Serikat diprediksi bakal terkena dampak serius, dan berisiko ikut terperosok.
Namun, sebagian besar pakar masih berpendapat masalah SVB belum memendarkan sinyal bahaya seperti yang terjadi usai bangkrutnya New Century Financial—pemicu krisis keuangan global pada 2008.
Dikutip dari Fortune.com, David Trainer, CEO firma riset investasi New Constructs, berpendapat ambruknya SVB tak bakal menjadi virus yang menular ke bank-bank lainnya.
Sebab, kata dia, “basis simpanan dari bank-bank besar jauh lebih terdiversifikasi daripada SVB dan bank-bank besar berada dalam kondisi keuangan yang sehat."
Hal serupa juga disampaikan sejumlah ekonom papan atas—termasuk mantan Menteri Keuangan Larry Summers dan Presiden Queens College, Cambridge Mohamed El-Erian—yang segera meyakinkan konsumen bahwa sistem keuangan secara keseluruhan tidak dalam masalah.
"Saya tidak melihat—jika ini ditangani secara wajar, dan saya punya banyak alasan untuk berpikir bahwa itu akan terjadi—bahwa ini akan menjadi sumber risiko sistemik," kata Summers kepada Bloomberg, Jumat (10/3).
“Risiko penularan dan ancaman sistemik dapat dengan mudah diatasi dengan manajemen neraca yang hati-hati dan menghindari lebih banyak kesalahan kebijakan,” kata El-Erian.
Mark Haefele, kepala investasi di UBS Global Wealth Management, melontarkan pendapat senada. Dia tidak melihat “tanda klasik penularan” dari keruntuhan SVB ke sistem keuangan yang lebih luas.
Menurutnya, publik perlu melihat konteks bahwa hingga saat ini perkiraan kerugian bank-bank AS sebesar US$620 miliar belum terjadi. Itu artinya kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga Fed akan membawa tekanan ke perbankan—seperti yang terjadi pada SVB—belum terbukti.
Para kreditur atau pemberi pinjaman AS juga masih memiliki total kepemilikan ekuitas US$2,2 triliun. Dari jumlah tersebut, total kerugian yang terjadi dari portofolio mereka pada tahun lalu juga sangat kecil: hanya US$31 miliar—meskipun mereka menyaksikan indeks saham S&P 500 merosot hingga 20 persen.
Lagipula, menurut Analis Bank of America yang dipimpin oleh Ebrahim Poonawala, aksi jual saham bank sudah berlebihan di pasar modal. "Investor telah mengekstrapolasi masalah istimewa pada masing-masing bank ke sektor perbankan yang lebih luas," demikian catatan kajian lembaga tersebut (10/3).
CEO New Constructs David Trainer menilai, alih-alih mencemaskan dampak terhadap sistem keuangan yang lebih luas, pelaku pasar harusnya lebih mawas diri lantaran masalah yang dihadapi SVB telah menjadi bukti bahayanya berbisnis dengan "perusahaan yang buruk".
“Banyak startup teknologi sebenarnya adalah perusahaan zombie tanpa model bisnis dan tidak layak menerima pinjaman apa pun. SVB sekarang mempelajari ini dengan cara yang sulit,” katanya, sembari berkomentar bahwa bank seharusnya lebih “cerdas” menjaring nasabahnya.
Perlunya meningkatkan kewaspadaan atas krisis sistemik dilontarkan ekonom David Rosenberg. Pasalnya, pada krisis 2008, banyak pula analis dan ekonom yang yakin bahwa risiko sistemik takkan terjadi.
“Berbicara tentang bagaimana SVB mengingatkan saya pada semua pihak yang 'mengangkat bahu pada 2007 ketika New Century Financial ditutup,” tulisnya dalam tweet hari Jumat, merujuk pada masa sebelum krisis keuangan global.
Ketar-ketir bank regional
Perbankan regional di AS menghadapi tekanan dari kolapsnya SVB karena dua alasan utama. Pertama, kekhawatiran pemodal ventura dan perusahaan-perusahaan baru yang menyebabkan mereka menarik dana atau menjual portofolio sahamnya.
Buktinya jelas: perdagangan pada beberapa saham bank regional—termasuk PacWest Bancorp, Western Alliance Bancorp, dan First Republic Bank—sempat dihentikan di tengah aksi jual agresif dari investor pada Jumat pekan lalu.
Dana perdagangan pertukaran Bank Regional AS iShares, yang melacak saham bank regional AS, juga turun lebih dari 8 persen pada Kamis setelah berita SVB tersiar—dan turun lagi lebih dari 5 persen sehari setelahnya.
Saham bank regional, serta saham kripto atau pemberi pinjaman yang berfokus pada teknologi, juga ikut terseret masalah SVB
Bahkan KBW Nasdaq Bank Index, yang melacak saham bank berkapitalisasi besar, merosot 7,7 persen pada hari Kamis. Kemudian, saham JPMorgan Chase, Bank of America, dan Wells Fargo masing-masing turun 5,4 persen, 6,2 persen, dan 6,2 persen pada hari yang sama.
Alasan kedua adalah kekhawatiran pasar atas kemampuan sejumlah bank regional dalam menutupi kerugian terkait kepemilikan obligasi mereka. Sebab, di tengah agresivitas kenaikan suku bunga Fed, nilai obligasi mereka telah turun drastis.
Padahal, banyak bank regional yang berinvestasi dalam Treasuries jangka panjang selama pandemi ketika konsumen ramai-ramai memompa uang ke rekening tabungan. Dalam periode kenaikan suku bunga Fed setahun terakhir saja, para pemberi pinjaman AS mengalami kerugian portofolio hingga US$620 miliar.
Kenaikan suku bunga agresif Fed juga telah menyebabkan pertumbuhan simpanan bank melambat secara dramatis, karena konsumen sekarang dapat menggunakan surat utang AS sebagai alternatif yang aman untuk menyimpan uang dan mendapatkan hasil nyata.
Lantaran itu pula bank-bank besar AS memilih menaikkan suku bunga sertifikat deposito (CD). CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon, bahkan mengatakan kepada para investor dalam paparan kinerja Januari lalu bahwa dia telah dipaksa untuk "bersaing" secara agresif demi menarik dana pihak ketiga (DPK).