Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memandang insurtech memiliki sejumlah keunggulan untuk ikut membantu kinerja industri asuransi.
Ketua Bidang Marketing dan Komunikasi AAJI, Wiroyo Kasono, mengatakan insurtech melaju pesat beberapa tahun terakhir. Jumlah pemainnya kini telah mencapai lebih dari 10 perusahaan, dan cenderung akan bertambah.
“Saya melihatnya (insurtech) ini positif untuk meningkatkan penetrasi awareness inklusi literasi dengan teknologi dengan cara-cara yang unik,” kata Wiroyo, dalam Media Gathering di Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/6).
Sesuai namanya, insurtech merupakan perusahaan asuransi yang mengadopsi teknologi. Sektor insurtech juga didukung oleh ekosistem teknologi finansial (financial technology/fintech) maupun lokapasar. Salah satu buktinya bisa dilihat dari banyak hadirnya produk insurtech di e-commerce.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan mengatakan insurtech pada dasarnya mengubah industri asuransi secara radikal dan positif melalui inovasi teknologi. Menurut OJK, penyelenggara insurtech terdiri dari lembaga jasa keuangan atau pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi.
Pemain insurtech di Indonesia di antaranya PasarPolis, Qoala, Fuse, LifePal, dan CekPremi. Secara umum model bisnisnya adalah agregator atau lokapasar maupun broker atau agen.
Kata Wiroyo, sebagian besar insurtech—founder maupun CEO-nya—kebanyakan bukan berlatar belakang asuransi, melainkan teknologi atau pemasaran. “Mereka sangat agile sehingga selalu ada jalan keluar,” ujarnya.
Pertumbuhan
Menurut Wiroyo, insurtech awalnya hanya memiliki model bisnis agregator dan kerap menggelar kolaborasi dengan e-commerce untuk memasarkan produk.
Namun, kini insurtech telah berkembang lebih jauh. Perusahaan asuransi teknologi ini sanggup membuat platform untuk dimanfaatkan oleh para agen asuransi konvensional dalam memasarkan produk.
Insurtech diperkirakan memiliki pertumbuhan kinerja yang positif, yang bisa ditengok dalam raihan preminya. Dia menyinggung satu insurtech yang sanggup membukukan premi hingga Rp1 triliun. Padahal, perusahaan tersebut baru hadir beberapa tahun belakangan.
“Padahal, untuk perusahaan asuransi (konvensional), untuk mencapai Rp1 triliun itu mungkin 10 tahun juga belum tentu bisa. Nah, meskipun premi yang mereka akui itu sebenarnya double counting, ya tetap diambil oleh perusahaan asuransi umum dan jiwa, dan insurtech akui premi tersebut di dalam platform mereka,” ujarnya.
Sebagai gambaran, Fuse mengeklaim capaian premi brutonya sepanjang tahun mencapai Rp1,5 triliun. Sedangkan, startup Qoala menyebut berhasil tumbuh 30 kali lipat sejak pendanaans seri A pada April 2022.
Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon, mengatakan kehadiran insurtech ini memungkinkan perluasan jangkauan ke masyarakat luas via kanal distribusi daring. “AAJI menyambut baik. Kami berkepentingan sekali untukk memasyarakatkan asuransi dan mengansuransi masyarakat. Insurtech bisa membantu,” katanya.
Meski demikian,Budi menganggap insurtech pun punya keterbasan, sebagaimana kanal distribusi lama. Dia menyebut bisa jadi produk asuransi yang ditawarkan insurtech jenisnya tak sebanyak yang bisa dipasarkan secara tatap muka oleh agen. “Mereka yang menjalankan digital insurace itu produknya harus sedemikian sederhana. Uang pertanggungannya atau benefit asuransinya juga mungkin enggak bisa terlalu besar,” ujarnya.