Jakarta, FORTUNE - Komponen belanja (konsumsi) pemerintah tercatat tumbuh paling rendah pada kuartal ketiga 2021 ini dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya. Padahal, belanja pemerintah merupakan salah satu bantalan bagi perekonomian atau produk domestik bruto (PDB).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat belanja pemerintah pada Juli–September tahun ini hanya tumbuh 0,66 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka itu melambat dari 8,03 persen pada kuartal kedua 2021. Bahkan, pada kuartal ketiga 2020, belanja pemerintah sanggup tumbuh 9,76 persen.
“Konsumsi pemerintah secara yoy pada Q3 ini tumbuh tipis 0,66 persen. Ini juga melambat kalau dibandingkan dengan Q2 2021 yang tumbuhnya 8,03 persen,” kata Kepala BPS, Margo Yuwono, dalam konferensi pers secara daring, Jumat (5/11).
Sebagai perbandingan, konsumsi rumah tangga pada periode sama tumbuh 1,03 persen yoy, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 3,74 persen, ekspor barang dan jasa 29,16 persen, dan impor 30,11 persen.
Konsumsi pemerintah ini terbagi menjadi dua komponen: konsumsi kolektif (belanja pemerintah untuk barang publik) dan konsumsi individu (belanja pemerintah untuk rumah tangga individu). Secara mendetail, konsumsi kolektif minus 9,23 persen dari sebelumnya tumbuh 8,99 persen. Sedangkan, konsumsi individu melaju menjadi 14,67 persen dari sebelumnya 6,63 persen.
Dampak langsung pembatasan Covid-19
Menurut Margo, faktor utama penyebab konsumsi pemerintah sedemikian utamanya akibat kinerja belanja pegawai yang terkoreksi 0,66 persen. Berikutnya, realisasi belanja barang dan jasa APBN yang juga hanya tumbuh 12,40 persen, melambat dari kenaikan signifikan 82,10 persen pada kuartal kedua 2021.
Direktur Eksekutif Institute for Developments of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menambahkan realisasi belanja barang dan jasa melambat diperkirakan akibat dampak langsung COVID-19. Pengetatan pembatasan sosial yang dilaksanakan pemerintah juga menghambat mereka dalam merealisasikan belanja tersebut.
“Terutama belanja yang bersifat fisik, pengadaan barang, dan sebagainya itu bisa jadi terhambat di level pelaksanaan,” kata Tauhid kepada Fortune Indonesia, Senin (8/11). Dia berkata, belum lagi komponen belanja lain seperti penyelenggaraan rapat, seminar, maupun perjalanan dinas yang juga terdampak pembatasan sosial.
Tauhid sebenarnya merasa ganjil pada kinerja belanja pegawai yang justru minus. Pasalnya, menurut dia, pos tersebut seharusnya rutin dibelanjakan oleh pemerintah lantaran demi membayar gaji aparatur sipil negara (APN). Terlepas dari itu, kata dia, terdapat indikasi bahwa belanja pegawai mengalami tekanan.
Pada kuartal keempat tahun ini, belanja pemerintah diharapkan mampu tumbuh lebih tinggi seiring perbaikan pandemi. Menurutnya, pemerintah saat ini memiliki keleluasaan untuk menyalurkan berbagai belanja barang dan jasanya demi memacu pemulihan ekonomi nasional.
“Konsumsi pemerintah kuartal empat ini mungkin tumbuh sekitar 1 sampai 2 persen. Sedikit menanjak karena ada spending besar dengan pemerintah banyak melakukan perjalanan dinas, rapat, dan sebagainya yang sebelumnya enggak bisa dilakukan,” katanya.
Belanja K/L tumbuh positif
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pada konferensi pers APBN Kita Senin (25/10), mengatakan belanja negara hingga akhir September 2021 mencapai Rp1.806,8 triliun atau turun 1,9 persen dari Rp1.841,3 pada periode sama 2020.
“Belanja sedikit menurun 1,9 persen, namun kalau kita lihat belanja K/L justru tumbuh 16,1 persen,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip dari Antara.
Realisasi belanja itu secara mendetail dibagi menjadi dua komponen. Belanja kementerian/lembaga mencapai Rp734 triliun. Sedangkan, belanja non K/L sebesar Rp531,3 triliun.
Dia mengatakan belanja K/L tumbuh ditopang kenaikan belanja modal 62,3 persen menjadi Rp118,7 triliun. “Tahun lalu belanja modal terhenti karena COVID-19 baru memukul Indonesia sehingga terjadi pelemahan dan kelumpuhan belanja modal,” katanya.