Jakarta, FORTUNE – Kinerja industri otomotif roda dua mulai menunjukkan perbaikan. Penjualan motor dalam negeri—yang juga kerap dijadikan sinyal pertumbuhan ekonomi—kembali melaju sepanjang 2021.
Asosiasi Industri Sepeda Motor (AISI) mencatat realisasi penjualan motor tahun lalu mencapai 5,06 juta unit, atau tumbuh 32,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada 2020, kinerja penjualan terkoreksi 43,6 persen menjadi hanya 3,66 juta unit. Kondisi ini diperkirakan merupakan dampak langsung krisis pandemi COVID-19 tahun pertama.
Namun, penjualan motor pada 2021 belum kembali ke era sebelum pandemi COVID-19. Menengok ke 2019, realisasi penjualan motor 6,49 juta unit. Sementara itu, rata-rata penjualan motor tahunan pada 2016-2019 mencapai 6,17 juta unit.
Motor skuter matik masih mendominasi penjualan tahun lalu hingga 87,58 persen, lalu berturut-turut diikuti motor bebek 6,30 persen, dan motor sports 6,12 persen.
Berkat ikhtiar taklukkan COVID-19
Menurut Ketua bidang Niaga AISI, Sigit Kumala, penjualan motor pada 2021 bisa begitu karena aktivitas industri masih terjaga—meskipun pemerintah menerapkan pembatasan mobilitas yang dilabeli PPKM. Menurutnya, pabrik maupun diler masih terus beroperasi.
Kondisi itu berbeda dari saat pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 2020, khususnya April-Mei. Kala itu, menurutnya, industri sama sekali tak beroperasi karena harus tutup.
“Nah, tahun 2021 pemerintah cukup berhasil melaksanakan PPKM yang diawasi cukup ketat sehingga ini menambah semangat daripada konsumen. Kegiatan ekonomi itu masih bisa terjaga dan menambah kepercayaan masyarakat,” katanya kepada Fortune Indonesia, Rabu (12/1).
Kinerja penjualan motor juga ditopang oleh tren kenaikan harga komodita. Industri, kata Sigit, juga mendapatkan dukungan dari perusahaan pembiayaan (multifinance) yang kembali menyalurkan pembiayaan motor.
Proyeksi penjualan pada 2022
AISI menargetkan penjualan motor pada 2022 berkisar pada 5,1 juta hingga 5,4 juta unit, kata Sigit.
Target tersebut konservatif. Sebab, dia memandang industri masih tertantang sejumlah hal, terutama menyangkut kenaikan harga komoditas yang berdampak ke harga suku cadang. Belum lagi soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen.
Lalu, sentimen dari kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang dapat berdampak ke ekonomi makro Indonesia. “Kami sedang mempelajari pengaruhnya. Jadi ini perlu dihitung dengan cermat,” ujarnya.