Jakarta, FORTUNE – Manulife Investment Management menyatakan dampak krisis Rusia-Ukraina terhadap perekonomian Indonesia terbatas. Bahkan, perusahaan keuangan tersebut justru menyatakan Indonesia dapat beroleh sentimen positif dari kemelut itu.
“Kami melihat bahwa eksposur terhadap ekonomi Indonesia akan tetap positif dan mendukung investasi jangka panjang,” kata Chief Economist & Investement Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan, dalam Investment Note, seperti dikutip pada Senin (21/3).
Menurut Katarina, investasi yang terdiversifikasi pada reksa dana saham serta reksa dana obligasi dapat membantu investor menjangkau hasil optimal melalui penyesuaian terhadap profil risiko serta tujuan masing-masing investor.
Di dalam negeri, misalnya, kinerja pasar modal terhitung stabil. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) pekan lalu menunjukkan indeks harga saham gabungan (IHSG) meningkat 0,47 persen. Kapitalisasi pasarnya pun menguat 0,54 persen menjadi Rp8.731,25 triliun.
Investor asing mencatatkan nilai beli bersih Rp78,01 miliar, dan sepanjang tahun ini beli bersihnya mencapai Rp24,67 triliun.
Dampak konflik Rusia Ukraina: kenaikan harga komoditas
Konflik Eropa Timur memang berimbas besar terhadap perekonomian global langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung, misalnya, datang dari perdagangan dan investasi. Sedangkan, dampak tidak langsung muncul dari inflasi akibat harga energi, logam, dan pertanian.
Untuk Indonesia, dampak langsungnya terbatas karena relasi dagang yang rendah dengan Rusia dan Ukraina, menurut Katarina. Data menunjukkan pada kuartal ketiga 2021 impor dari Rusia hanya 0,2 persen dari total impor Indonesia. Investasi langsung dari Rusia juga hanya 0,08 persen dari total Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia.
Katarina menyebut dampak tidak langsung dalam bentuk kenaikan harga komoditas lebih relevan. Rusia adalah produsen utama dari minyak bumi, gas, berbagai logam, serta produk agrikultur. Disrupsi pasokan dari negara tersebut mendorong kenaikan harga berbagai komoditas tadi.
“Sebagai produsen atau eksportir komoditas dalam skala besar, produk domestik bruto, transaksi berjalan, dan pendapatan pemerintah Indonesia kemungkinan besar akan diuntungkan dari kenaikan harga komoditas,” ujarnya.
Di tengah kenaikan harga minyak 56,8 persen setahun terakhir, harga minyak kelapa sawit naik 56,0 persen dan harga batu bara naik 271,6 persen. Indonesia sebagai eksportir terbesar dari minyak kelapa sawit dan batu bara termal akan membukukan keuntungan dari kenaikan harga barusan
Kebijakan suku bunga bank sentral
Dalam keterangan sama, Katarina menyoroti soal kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat (AS) yang menyesuaikan tingkat suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 0,25 persen hingga 0,5 persen. Keputusan ini menyusul tingkat inflasi di AS yang melonjak.
Sementara, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan di 3,50 persen.
“Kebijakan BI tersebut sudah sesuai perkiraan pasar, dan karenanya pasar Indonesia juga bergerak netral,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan keputusan suku bunga acuan sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi. Di saat sama, kebijakan itu merupakan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah gejolak di Eropa Timur.