Jakarta, FORTUNE – Manulife Investment Management, perusahaan manajemen keyaaan dan aset global, menyatakan negara-negara Asia diperkirakan sanggup mengendalikan inflasi di tengah bermasalahnya rantai pasok dunia.
“Jika hambatan pasokan global memperburuk tekanan inflasi, Asia kemungkinan akan lolos dari guncangan inflasi global terburuk, terutama dibandingkan pasar negara berkembang lainnya,” kata Sue Trinh, Head of Macro Strategy Asia Manulife Investment Managemet Asia, dalam diskusi daring, Kamis (20/1).
Ekspektasi terhadap inflasi Asia yang rendah, menurut Sue, salah satunya terjadi karena faktor surplus perdagangan atau selisih ekspor dan impor. Negara-negara Asia memanfaatkan produksi ekspor untuk menjadi pendorong pertumbuhan selama pandemi COVID-19.
Di saat sama, pembukaan kembali ekonomi di negara-negara Asia ternyata belum berdampak pada tingkat permintaan yang kuat. Padahal, pertumbuhan konsumsi rumah tangga telah pulih lebih cepat di kawasan ekonomi lain.
Data dari Trading Economics mungkin bisa menjadi gambaran kondisi inflasi di sejumlah negara Asia. Inflasi di Indonesia pada Desember 2021 mencapai 1,87 persen, Tiongkok 1,5 persen, Hong Kong 1,8 persen, dan Vietnam 1,81 persen. Sebagai pembanding, inflasi di Amerika Serikat (AS) mencapai 7 persen dan Uni Eropa sekitar 4 persen.
Berbagai hambatan bagi perbaikan ekonomi Asia
Menurut Sue, kekhawatiran terbesar adalah masih lemahnya permintaan konsumen yang di saat bersamaan akan terekspos oleh penurunan ekspor.
“Untuk kawasan Asia secara keseluruhan, kami memperkirakan normalisasi kebijakan akan berjalan jauh lebih lambat dan besarnya lebih rendah dibandingkan siklus sebelumnya dan pasar negara berkembang lainnya.” Manulife memperkirakan kondisi makro akan lebih menguntungkan untuk pembukaan ekonomi di Taiwan, Jepang, dan sejumlah negara Asia Tenggara.
Dia menambahkan, negara Asia juga perlu memperhatikan kebijakan bank sentral AS (The Fed) soal tapering off. Sebab, dengan rencana The Fed mengurangi program pembelian asetnya, potensi volatilitas dalam US$ dan suku bunga AS, dapat membebani likuiditas global—yang merupakan elemen penting bagi Asia.
Meski begitu, perekonomian, khususunya pasar modal Asia, diperkirakan sanggup menahan risiko The Fed dibandingkan taper tantrum pada 2013. Kondisi itu akan didukung oleh kebijakan moneter akomodatif, dan berkat posisi eksternal yang lebih kuat serta ketergantungan lebih rendah pada pembiayaan eksternal.
Proyeksi Bank Pembangunan Asia
Bank Pembangunan Asia (ADB), dalam Asian Development Outlook December 2021, memangkas pertumbuhan ekonomi Asia tahun lalu menjadi 7 persen dari sebelumnya 7,1 persen. Tahun ini, perekonomian diperkirakan hanya tumbuh 5,3 persen, turun dari 5,4 persen pada proyeksi sebelumnya.
Kepala Ekonom ADB, Joseph Zveglich, mengatakan Asia tengah mengalami kemajuan stabil dalam menangani COVID-19 melalui upaya vaksinasi dan implementasi tindakan pencegahan yang lebih strategis.
“Namun, wabah baru di kuartal ketiga 2021 meredam pertumbuhan produk domestik bruto, dan munculnya varian virus Omicron menyebabkan ketidakpastian baru,” kata Joseph dalam keterangannya, Selasa (14/12).
Bagi ADB, risiko utama terhadap prospek pertumbuhan tetap kebangkitan dalam kasus COVID-19. Selain itu, tingkat vaksinasi lengkap (dua dosis) di Asia juga masih relatif rendah dibandingkan kawasan ekonomi lainnya.
ADB memperkirakan perekonomian Tiongkok tahun ini tumbuh 3,4 persen, melambat dari perkiraan 6,4 persen pada tahun sebelumnya. India ditaksir tumbuh 7,5 persen, Malaysia 5,9 persen, Singapura 4,1 persen, Thailand 4 persen, dan Vietnam 6 persen. Perekonomian Indonesia diramal bakal melaju 5 persen, naik dari 3,5 persen pada perkiraan tahun sebelumnya.