Jakarta, FORTUNE – Industri manufaktur atau pengolahan domestik membukukan perlambatan kinerja, meski masih tergolong ekspansif, menurut data terbaru Purchasing Managers’s Index (PMI) dari S&P Global.
PMI manufaktur Indonesia bulan lalu mencapai 50,8, atau turun dari 51,9 pada April. Angka PMI Manufaktur di atas 50 ini mengindikasikan sektor manufaktur dalam fase ekspansi, dan di bawah 50 menyiratkan pelemahan bisnis.
Menurut S&P Global, kinerja manufaktur masih masuk dalam zona ekspansif dalam sembilan bulan terakhir. Namun, laju pertumbuhan pada Mei ini termasuk yang paling lambat.
“Kondisi bisnis pada seluruh sektor manufaktur Indonesia membaik pada laju lebih lambat pada Mei. Produksi manufaktur sedikit turun pada pertengahan menuju kuartal kedua karena gangguan pasokan menghambat sektor,” kata Economics Associate Director S&P Global Market, Jingyi Pan, dalam keterangan resmi, Kamis (2/6).
Perpanjangan waktu pengiriman dari pemasok, ditambah dengan kenaikan harga terus-menerus dan cepat, mengakibatkan hambatan pasokan yang berdampak pada performa sektor manufaktur, kata Jingyi Pan. Output manufaktur pun sedikit turun di tengah gangguan rantai pasok tersebut.
Meski demikian, permintaan baru secara keseluruhan mengalami ekspansi di tingkat sedang. Pada aspek lain, total bisnis baru dan ketenagakerjaan turut menggeliat meski melambat ketimbang sebelumnya.
Pun demikian, sentimen bisnis pada sektor manufaktur Indonesia secara keseluruhan bertahan positif, dengan perusahaan secara umum berharap penjualan akan tumbuh seiring pemulihan ekonomi. “Namun demikian, tingkat kepercayaan bisnis menurun dari kondisi April ke posisi terendah dalam tiga bulan,” ujarnya.
PMI manufaktur Asean
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencetak perlambatan kinerja industri manufaktur. Menurut S&P Global, secara keseluruhan di Asia Tenggara performa sektor pengolahan lebih rendah ketimbang sebelumnya.
Headline PMI manufaktur tercatat hanya mencapai 52,3 pada Mei, atau turun dari 52,8 pada bulan sebelumnya. Meski mengarah pada hilangnya momentum pertumbuhan, menurut S&P Global, data terkini memperpanjang periode ekspansi menjadi delapan bulan beruntun.
Singapura membukukan skor PMI manufaktur 57,3. Sedangkan, industri manufaktur di Vietnam berada di tingkat ekspansi kuat 54,7. Lalu, Filipina dan Malaysia mengalami perlambatan masing-masing 54,1 dan 50,1. Sementara itu, Thailand masih bertahan pada posisi 51,9.
"Kondisi bisnis pada seluruh sektor manufaktur Asean membaik pada tingkat rendah pada Mei. Permintaan turun akibat perlambatan ekspansi pada permintaan baru dan output. Akan tetapi, ekspansi telah terlihat pada setiap bulan selama delapan bulan terakhir,” kata Ekonom di S&P Global Market Intelligence, Maryam Baluch.
Dia menyoroti soal perkara pertumbuhan yang tertekan oleh perkara rantai pasokan dan inflasi. Ketegangan geopolitik, karantina wilayah di Tiongkok, dan hambatan transportasi merupakan sejumlah faktor pembentuk kemelut rantai pasok.