Jakarta, FORTUNE - Perekonomian Indonesia masih mencatatkan tren surplus neraca perdagangan (ekspor-impor). Lalu, bagaimana dampak tren surplus tersebut terhadap kinerja defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD)?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang pada Agustus masih mengalami surplus US$4,74 miliar, atau naik 82,3 persen dari bulan sebelumnya yang mencapai US$2,60 miliar. Secara tahunan (year-on-year/yoy) nilai surplus itu juga melejit 105,2 persen.
Surplus perdagangan pada Agustus 2021 ini melanjutkan tren yang sudah terjadi sejak Mei 2020. Bahkan, menurut BPS, surplus pada bulan lalu ini juga menjadi yang terbesar sepanjang sejarah.
CAD berpotensi menyempit
Direktur Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal, mengatakan kondisi sedemikian berpotensi membuat nilai defisit transaksi berjalan menurun pada kuartal ketiga tahun ini.
Data Bank Indonesia (BI) mencatat, CAD pada kuartal II-2021 mencapai US$2,23 miliar, atau sekitar 0,77 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini naik dari defisit transaksi berjalan pada kuartal sebelumnya yang mencapai US$1,06 miliar atau 0,38% dari PDB.
Menurut Faisal, penyusutan CAD ini berpotensi terjadi lantaran nilai ekspor yang lebih tinggi ketimbang impor berujung surplus perdagangan. Dalam catatan BPS, nilai ekspor Agustus mencapai US$21,42 miliar, atau tumbuh 17,7 persen secara bulanan, lebih tinggi dari kenaikan impor yang hanya 10,35 persen pada US$15,68 miliar.
Pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi ketimbang impor menyiratkan perlambatan aktivitas ekonomi dalam negeri. Ini sejalan dengan upaya pengetatan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah pada Juli hingga Agustus.
“Jadi, itu kemungkinan besar yang menyebabkan di kuartal ketiga defisit transaksi berjalan akan mengalami penyempitan lagi,” katanya kepada Fortune Indonesia, Kamis (30/9).
Akan tetapi, lanjut Faisal, seiring dengan pelonggaran pembatasan, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan kembali melebar. Pasalnya, aktivitas perekonomian akan kembali meningkat. Ini kelak tercermin pada peningkatan impor. Pada gilirannya, nilai surplus perdagangan bakal tergerus.
Anomali CAD
Faisal menjelaskan, perkembangan CAD ini sebetulnya menciptakan anomali dalam struktur perekonomian Indonesia. Pasalnya, menurut dia, di saat kondisi ekonomi domestik sedang bergairah, defisit transaksi berjalan justru kerap melebar. Sedangkan, saat perekonomian dalam negeri tertekan, CAD malah berpotensi surplus.
“Ketika ekonomi domestik bergerak sedang sehat biasanya defisit transaksi berjalan/CAD itu naik, Ini karena struktur ekonomi kita yang bergantung besar pada impor,” katanya.
Doktor Political Economy and Governance dari Universitas Queensland Australia itu mencontohkan, pada saat Indonesia mengalami resesi atau pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal III dan IV tahun lalu, transaksi berjalan malah mencatatkan surplus. Menurut data Bank Indonesia, CAD pada dua kuartal itu masing-masing membukukan surplus US$1,02 miliar dan US$862 juta.
Akan tetapi, lanjut Faisal, surplus transaksi berjalan tersebut disinyalir menunjukkan kondisi yang tidak sehat lantaran menyiratkan kondisi perekonomian dalam negeri yang tertekan. Kondisi tersebut, lanjutnya, terutama terjadi akibat penurunan impor industri dalam negeri.
Pelebaran CAD kuartal kedua
Faisal melanjutkan kuartal II-2021 mencatatkan pelebaran defisit transaksi berjalan. Kondisi itu, katanya, sejalan dengan peningkatan aktivitas industri dalam negeri di tengah upaya pelonggaran pembatasan.
Data BI menunjukkan, pelebaran CAD pada kuartal kedua 2021 ini terutama disebabkan surplus neraca dagang barang Indonesia yang naik 6,0 persen dari kuartal sebelumnya menjadi US$8,09 miliar. Surplus ini tercipta akibat nilai ekspor yang tumbuh 10,0 persen, sedangkan nilai impor juga naik tapi lebih tinggi sedikit, yakni 10,7 persen.
Menurut data BI, pelebaran nilai CAD juga disebabkan peningkatan nilai defisit jasa dan pendapatan primer. Defisit jasa pada kuartal II mencapai US$3,65 miliar, atau tumbuh 8,3 persen. Sedangkan defisit pendapatan primer naik 20,6 persen.
“Ekspor tumbuh, tapi impor juga kembali mengalami peningkatan sejalan dengan aktivitas produksi dan konsumsi dalam negeri. Di saat yang sama, defisit neraca jasa juga meningkat karena ada peningkatan jasa untuk pemakaian transportasi asing untuk ekspor impor. Itu sebabnya kuartal kedua defisitnya melebar,” katanya.
Meski rendah, pelebaran CAD ini, menurut BI, dipengaruhi peningkatan surplus neraca barang akibat kenaikan ekspor bersamaan dengan impor yang menunjukkan perbaikan ekonomi domestik.
“Sementara itu, defisit neraca pendapatan primer meningkat akibat kenaikan pembayaran imbal hasil investasi berupa dividen seiring perbaikan kinerja korporasi. Defisit neraca jasa juga meningkat, antara lain disebabkan defisit jasa transportasi yang melebar akibat peningkatan pembayaran jasa freight impor barang,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, dalam keterangan resmi, Jumat (20/8).
BI memperkirakan tahun ini defisit transaksi berjalan masih akan terjaga. Menurut Gubernur BI, Perry Warjiyo, CAD ditaksir sekitar 0,6 sampai 1,4 persen PDB. Tahun, lalu defisit transaksi berjalan 0,42 persen dari PDB, menurun dari 2019 yang mencapai 2,71 persen PDB.