Jakarta, FORTUNE – Tren pengunduran diri besar-besaran di Amerika Serikat (AS) tampaknya memasuki babak baru. Pemerintah AS mencatat jumlah pekerja yang berhenti dari pekerjaannya mencapai 68,9 juta. Dari jumlah tersebut, 47,4 juta bahkan meninggalkannya secara “sukarela”.
Menurut data Goldman Sachs, perusahaan bank investasi dan jasa keuangan AS, seperti dikutip dari CNN (10/2), 2,5 juta orang raib dari lapangan kerja. Di antara jumlah tersebut, 800 ribu memutuskan pensiun dini didukung oleh ekuitas rumah (home equity) dan portofolio saham yang meningkat. Masih ada 1,7 juta orang menarik diri dari pasar tenaga kerja, dan banyak dari mereka masih berusia produktif.
Terdapat sejumlah hal yang menahan orang-orang itu untuk bekerja. Menurut Goldman Sachs, pekerja khawatir terhadap COVID-19, punya bantalan keuangan, atau gaya hidup yang telah berubah. Namun, ada keyakinan bahwa sejumlah pekerja akan kembali jika COVID-19 teratasi atau tabungannya mulai habis.
Upah tak sebanding inflasi?
Saat ini perekonomian AS sedang bergejolak. Trading Economics mencatat inflasi AS pada Desember tahun lalu mencapai 7 persen, dan dianggap tertinggi sejak Juni 1982.
Menurut laporan terbaru ADP Research Institute, perusahaan yang melacak tingkat gaji, upah pekerja AS naik 5,9 persen pada periode sama. Namun, dibandingkan dengan kenaikan inflasi, penyesuaian tersebut mungkin tak cukup. Bahkan, daya beli bakal tergerus inflasi.
Kepada Time, Kepala Ekonom ADP, Nela Richardson, mengatakan saat ini terjadi kompetisi langsung antara perusahan besar yang mampu meningkatkan upah serta bonus, dan perusahaan kecil yang tak sanggup melakukannya.
Kenaikan upah pun terjadi secara tak merata. Karyawan baru di sektor seperti layanan bisnis profesional dan teknologi informasi beroleh kenaikan rata-rata 12 persen. Sementara itu, upah di industri rekreasi dan perhotelan mengalami stagnasi.
Pada saat sama, analisis data FactSet yang dikutip Fortune.com menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan AS justru menangguk untung lebih besar. Bahkan, laba kebanyakan perusahaan naik hingga 50 persen.
Perusahaan memang mengalami tekanan harga akibat kemelut rantai pasok. Namun, sebagian darinya membebankan biaya produksi, tenaga kerja, dan lainnya kepada konsumen. Alhasil, inflasi ikut menjadi cerminan dari langkah tersebut.
Bukan masalah upah semata
Survei terbaru menunjukkan para pekerja, terutama yang berada di garis depan (frontliners), kemungkinan masih akan mundur dari pekerjaannya, demikian Fortune.com. Musababnya: mereka mencari peluang lebih baik, atau sekadar memutuskan hengkang.
Namun, bagi banyak pekerja, ini bukan hanya perkara uang. Mereka juga mengaku tidak puas dengan pekerjaan lamanya. Pekerja pergi untuk perawatan, jadwal, dan manfaat lebih baik.
Sementara ini, para pencari kerja mungkin memegang kendali. Pengusaha dari berbagai lini sedang berebut merekrut mereka. Tawarannya: kondisi kerja lebih baik serta pengembangan profesional.
Situasi ini memungkinkan taji pada pemberdayaan pekerja. Para pemberi kerja perlu untuk lebih mendengarkan karyawan serta menjadi lebih sensitif terhadap permintaannya.
Dihadapkan dengan kondisi tersebut, akan lebih efisien bagi perusahaan untuk menaikkan gaji pekerja ketimbang harus melatih dan mendatangkan pekerja baru. Kenaikan upah juga kemungkinan akan berdampak baik pada perekonomian jangka panjang.