Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bekerja sama dengan EY Parthenon Indonesia (EY) meluncurkan riset terkait pembiayaan UMKM nasional. Dalam riset tersebut, EY memproyeksikan total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp 4.300 triliun. Namun, industri keuangan dalam negeri hanya mampu menyiapkan supply sebesar Rp 1.900 triliun. Artinya terdapat selisih atau gap sebesar Rp 2.400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan.
“Kesenjangan dapat terus melebar jika kondisi pasokan pembiayaannya tetap sama tanpa dibarengi kebijakan pendukung tambahan. Insentif pendanaan yang menarik tentunya akan mendorong peningkatan pasokan pembiayaan tersebut dan dalam hal ini, fintech lending dapat memainkan peran yang lebih besar karena risk appetite dan aksesibilitas platformnya lebih cocok dengan UMKM yang mendorong permintaan,” ujar Partner @ EY Parthenon Indonesia, Strategy and Transactions, Anugrah Pratama dalam acara peluncuran riset EY dan AFPI berjudul Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia, di Plataran Senayan Jakarta, Jumat (14/7).
Pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali
Sementara itu, Ketua Bidang Humas AFPI sekaligus CEO & Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, AFPI dan EY mengidentifikasi bahwa penyebaran permintaan pembiayaan di seluruh wilayah tidak seragam karena memiliki komposisi klaster yang unik.
Ia menilai, permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali yakni 62 persen dari total pembiayaan UMKM di Indonesia pada 2022. Porsi tersebut juga diprediksi masih akan terjadi hingga 2026 dengan porsi 61 persen. Adapun pada 2022, total supply pembiayaan UMKM Rp 1.400 triliun dan pada 2026 akan menjadi Rp 1.900 triliun.
“Permintaan pembiayaan dari Indonesia Timur diperkirakan mencapai Rp 250 Triliun pada 2026, dimana 24 persen atau sekitar Rp 60 triliun berasal dari kelompok Bisnis Prospektif. Namun, sampai saat ini akses pendanaan masih terbatas di daerah tersebut,” kata Andi.
AFPI kelompokan empat segmen UMKM
Selain itu, riset tersebut juga mengelompokkan UMKM di Indonesia menjadi empat segmentasi yang lebih rinci untuk mendukung pengambilan kebijakan pemberian pembiayaan. Hal ini diharapkan dapat mempermudah fintech untuk lebih tepat sasaran dalam menyalurkan pembiayaan demi memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui peranan UMKM.
Sekretaris Jenderal AFPI, Sunu Widyatmoko mengungkapkan AFPI sebagai asosiasi yang menaungi penyelenggara Fintech P2P Lending, merasa perlu dilakukan pemetaan segmentasi UMKM untuk mengetahui lebih rinci mengenai kondisi UMKM di Tanah Air sehingga dapat memberikan pendanaan yang tepat sasaran. Anggota AFPI, melalui pemanfaatan digitalisasi diharapkan dapat menjadi motor peningkatan penyaluran pembiayaan khususnya untuk menjangkau pasar unbanked dan underserved.
“Dalam riset AFPI dan EY, dirasa perlu menambahkan elemen literasi digital dan literasi keuangan, untuk memperkuat segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini. Harapannya anggota AFPI dapat menambah visibilitas terhadap potensi UMKM ke depan, sehingga menjadi sumbangsih nyata kami terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Sunu.
Empat segmentasi baru yang hasil riset AFPI dan EY, yakni :
- Kelompok Bisnis Prospektif : Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis.
- Kelompok Kebutuhan Dasar : Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah, menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi.
- Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan : Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan rendah, hanya berfokus pada mempertahankan kondisi status-quo mereka.
- Kelompok Bisnis Unggul: Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.