Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia (BI) mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap hingga September 2022.
Di mana kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUK (Bank Umum Konvensional) yang pada saat ini sebesar 5,0 persen akan naik menjadi 6,0 persen mulai 1 Juni 2022, lalu 7,5 persen mulai 1 Juli 2022 dan 9,0 persen mulai 1 September 2022.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, kebijakan tersebut bakal mengetatkan likuiditas di perbankan dan membuat bank bersaing berebut dana murah di Dana Pihak Ketiga (DPK).
"Kenaikan GWM akan memperketat likuiditas di perbankan. Tentunya akan berdampak ke penghimpunan DPK. Bank-bank harus bersaing untuk mendapatkan DPK. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan suku bunga sebagai daya tarik mendapatkan DPK," jelas Piter saat dihubungi Fortune Indonesia di Jakarta, Senin (30/5).
Tak hanya itu, prospek penyaluran kredit juga diperkirakan bakal terganggu akibat kebijakan tersebut. Sebab, bank harus menimbang ketersediaan likuiditas dan penyaluran kredit.
Likuiditas bank masih sangat gemuk
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menganggap kenaikan GWM bakal merampingkan likuiditas bank yang dinilainya masih sangat gemuk.
"Kondisi likuiditas saat ini masih cukup gemuk, dilihat dari pergerakan simpanan per kelompok nasabah juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan,"kata Bhima kepada Fortune Indonesia, Senin (30/5).
Meski demikian, menurutnya dampak tersebut masih belum terasa. Hal ini terlihat dari Loan to Deposit Rartio (LDR) Bank yang masih berada di level 78 persen untuk bank umum. Menurut Bhima, idealnya untuk dukung pemulihan ekonomi, LDR bank harus berada dikisaran 85 hingga 87 persen.
"Oleh karena itu meski ada pengetatan, tapi kenaikan GWM belum banyak berdampak ke likuiditas perbankan maupun pertumbuhan kredit," kata Bhima.
DPK tumbuh melambat
BI mencatat penghimpunan DPK perbankan pada April 2022 tercatat senilai Rp7.242,8 triliun. Nilai itu tumbuh 10,3 persen secara tahunan secara year-on-year (yoy). Pertumbuhan itu melambat dibandingkan Maret 2022 sebesar 10,4 persen yoy atau senilai Rp7.238,3 triliun.
Berdasarkan laporan Uang Beredar BI pada April 2022 tercatat, perlambatan DPK terutama disebabkan oleh simpanan berjangka yang hanya tumbuh 0,8 persen yoy atau mencapai Rp2.725 triliun. Sedangkan untuk giro tumbuh 18,6 persen (yoy) mencapai Rp1.973 triliun.
Penyaluran kredit tumbuh kuat 8,8%
Sementara itu, penyaluran kredit perbankan pada April 2022 senilai Rp5.969,1 triliun tumbuh kuat 8,8 persen (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 6,4 persen (yoy).
Seperti dikutip dari laporan data uang beredar BI, akselerasi kredit bersumber dari golongan debitur korporasi maupun perorangan.
Kredit kepada perorangan tumbuh meningkat dari 8,4 persen (yoy) pada Maret 2022 menjadi 8,9 persen (yoy) pada April 2022. Sementara itu, kredit kepada korporasi meningkat dari 5,9 persen pada Maret 2022 menjadi 10,3 persen (yoy) di April 2022.
Meski demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo pun sempat menyatakan, kenaikan GWM tersebut tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit ataupun pembiayaan kepada dunia usaha.