Jakarta, FORTUNE - Kebijakan Restrukturisasi Kredit akibat dampak Covid-19 telah diberhentikan mulai 31 Maret 2024. Untuk mengantisipasi risiko dari hal itu, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) telah melakukan upaya untuk mengantisipasi pembengkakan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). Salah satu antisipasi risiko yang dilakukan BRI ialah melakukan pencadangan yang memadai. Hingga akhir Desember 2022 tercatat NPL Coverage BRI berada di level 305,73 persen.
Direktur Utama BRI, Sunarso menjelaskan, cadangan tersebut digunakan untuk melakukan penghapusbukuan kredit UMKM yang benar-benar sudah tidak bisa direstrukturisasi lagi. Sehingga, pada Desember 2023 NPL Coverage turun di level 229,09 persen, namun demikian, cadangan tersebut masih sangat memadai apabila terjadi pemburukan. Tercatat, bank plat merah ini juga mengaku mampu menjaga kualitas kredit macetnya dengan rasio NPL sebesar 2,95 persen di akhir 2023.
“BRI juga telah menerapkan langkah antisipatif merespon berakhirnya relaksasi restrukturisasi Covid pada bulan Maret 2024, dimana BRI telah menyiapkan soft landing strategy. Dan kami optimistis berakhirnya relaksasi tersebut tidak akan berdampak signifikan pada kinerja kualitas kredit maupun kinerja keuangan BRI secara umum,” kata Sunarso melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin (1/4).
Nilai restrukturisasi kredit di BRI tersisa Rp54,5 triliun
Ia juga mengungkapkan bahwa BRI sendiri secara internal sudah tidak menggunakan kebijakan tersebut sejak tahun 2023 lalu sebagai upaya untuk penerapan prudential banking. Hingga Desember 2023, nilai restrukturisasi kredit di BRI tercatat menjadi Rp54,5 triliun atau turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp107,2 triliun.
“Apabila dihitung dari puncaknya, sebesar Rp210 triliun itu sudah keluar dari status restrukturisasi sehingga sekarang outstanding-nya tinggal Rp54 triliun,” kata Sunarso.
Sunarso yang juga merupakan Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), menilai bahwa Kebijakan tersebut terbukti telah mampu menyelamatkan sebagian besar bisnis UMKM selama menghadapi pandemi Covid 19 yang mulai meluas di Indonesia pada tahun 2020.
Tercatat, pada 2022, UMKM memberikan kontribusi sebesar 60,3 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, UMKM menyerap 97 persen tenaga kerja dan menyediakan 99 persen persen lapangan kerja di Indonesia.
Namun, adanya pandemi Covid-19 memberikan tekanan berat bagi pelaku UMKM, karena mereka tidak bisa melakukan aktivitas ekonomi sebagaimana biasanya. Fokus BRI dalam memberdayakan dan membangkitkan aktivitas pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada saat pandemi tersebut pun menjadi motor kinerja keuangan BRI pada saat itu.