Jakarta, FORTUNE - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mengkaji perpanjangan program restrukturisasi kredit jilid ketiga, apakah perlu dilakukan atau tidak.
Seperti diketahui bersama, kebijakan restrukturisasi kredit melalui POJK No.11/POJK.03/2020, mulai berlangsung pada tahun 2020 lalu. Namun kebijakan itu telah diperpanjang dua kali, yakni dari Maret 2021 diperpanjang ke Maret 2022, lalu kembali diperpanjang hingga Maret 2023.
Lantas apakah kebijakan tersebut bakal diperpanjang hingga jilid ketiga?
Ini dua pertimbangan kajian perpanjangan restru OJK
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar saat konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menjelaskan, terdapat dua pertimbangan terkait kebijakan restrukturisasi.
Pertama, mengenai selumlah industri yang dinilai sudah mulai pulih akibat dampak covid-19. Sehingga restrukturisasi bisa segera dihentikan.
Namun demikian, pertimbangan kedua ialah pihaknya masih terus memitigasi perkembangan kondisi global yang masih diliputi oleh ketidakpastian.
"Persoalan kedua, saat ini ekonomi nasional juga harus mitigasi risiko dampak stagflasi global. Jadi ini bukan serta merta hanya terkait dengan krisis pandemi," kata Mahendra.
Sektor akomodasi belum pulih, OJK beri sinyal perpanjangan restrukturisasi
Mahendra menambahkan, sejumlah debitur restrukturisasi memang telah mengalami penurunam tajam seperti perdagangan, kontruksi, transportasi hingga komunikasi.
Namun demikian, terdapat sejumlah sektor yang belum mengalami perbaikan, yakni akomodasi seperti perhotelan hingga makanan dan minuman.
"Sektor yang masih tinggi dari segi proporsi kredit yang tetap memerlukan restrukturisasi adalah dari akomodasi dan makanan minuman. Jadi ini yang menjadi sorotan bagaimana melihat sektor tadi dalam rangka mitigasi risiko," jelas Mahendra.
Oleh sebab itu, sinyal perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit jilid tiga semakin jelas bilamana sektor tersebut belum juga pulih hingga akhir tahun.