Jakarta, FORTUNE – Sebanyak 42 persen karyawan Indonesia dengan penghasilan kurang dari Rp5 juta per bulan sulit atau tidak mampu menabung atau berinvestasi. Hal tersebut tertuang dalam penelitian yang dilakukan oleh GajiGesa bersama dengan Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) pada akhir 2022.
Di sisi lain, dengan makin maraknya tawaran pinjaman online tentu tak sedikit masyarakat yang tergoda untuk meminjam di platfrom fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol). Bahkan, di antara masyarakat berpenghasilan rendah tersebut dianggap rawan terjerat pinjol illegal.
Sejak tahun 2018, hampir 7.000 pinjol ilegal dan investasi ilegal telah dihentikan oleh Satgas Waspada Investasi. "Namun, jumlah kasus pinjol ilegal yang ditangani SWI justru meningkat hampir dua kali lipat pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Peneliti Center of Digital Economy and SMEs INDEF, Izzudin Al Farras melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin (11/9).
Ini dua aspek yang buat masyarakat tergoda pinjol ilegal
Maraknya pinjaman online ilegal pada usia muda, lanjut Izzudin, disebabkan dua aspek utama yakni kesenjangan antara tingkat literasi dan inklusi keuangan serta tingginya penetrasi internet pada penduduk usia muda.
“Pada tahun 2022, Inklusi keuangan mencapai 85,1 persen dan literasi keuangan baru menjacapi 49,7 persen. Artinya, terdapat jarak antara inklusi dan literasi keuangan sebesar 35,4 persen,” kata Izzudin.
Selain itu, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), saat ini sebanyak 97,1 persen penduduk berumur 19 – 34 tahun telah terkoneksi internet. Hal tersebut membuat Masyarakat khususnya anak muda mudah untuk menjangkau pinjaman online. Untuk itu, menurutnya Pemerintah perlu mengatur strategi publikasi yang massif terkait pinjaman online legal dan pinjaman online illegal agar meningkatkan literasi di masyarakat.