Pentingnya Skor Kredit Untuk Jaga Daya Tahan Pertumbuhan Ekonomi

Kredit produktif masih rendah, 16% kolektibilitas tiga.

Pentingnya Skor Kredit Untuk Jaga Daya Tahan Pertumbuhan Ekonomi
Ilustrasi Kredit Shutterstock.com/Wolfilser
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) atau lembaga penilai Skor Kredit dinilai memiliki peran penting untuk menjaga daya tahan Pertumbuhan Ekonomi nasional. Bagaimana tidak, jumlah UMKM di Indonesia telah mencapai 66 juta hingga 2023 yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Untuk meraih pendanaan yang sehat dan berkualitas, dibutuhkan sebuah lembaga penilai skor kredit agar memudahkan UMKM meningkatkan bisnisnya.

Direktur Utama dan CEO PT CRIF Lembaga Informasi Keuangan (CLIK), Leonardo Lapalorcia menyatakan, bukan tidak mungkin untuk memacu pertumbuhan ekonomi atau Gross domestic product (GDP) Indonesia hingga 8 persen di tahun-tahun ke depan asalkan seluruh segmen terus diperkuat, seperti literasi, pembiayaan UMKM, hingga menjaga rasio kredit macet di lembaga keuangan.

“Apakah cukup untuk mencapai GDP growth Indonesia 8 persen? Mungkin tidak mudah, tapi dinamis ini masih tetap positif terjadi. Tergantung dari cepatnya upaya Pemerintah. Tapi faktanya, pembiayaan banyak tapi risiko juga naik, ini yang harus diantisipasi oleh lembaga penilai skor kredit,” kata Leonardo saat ditemui di Jakarta, Kamis (5/9).

Kredit produktif masih rendah, 16% diantaranya kolektibilitas tiga

Direktur Utama dan CEO PT CRIF Lembaga Informasi Keuangan (CLIK), Leonardo Lapalorcia/Dok Fortune IDN

Pria yang akrab dipanggil Leo ini juga mengungkapkan, berdasarkan data yang dimiliki oleh CLIK, saat ini kredit untuk sektor produktif masih terbilang rendah. Kondisi itu membuat lembaga keuangan mengantisipasi adanya peningkatan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). 

Apalagi, lanjut Leo, dari kredit produktif tersebut, 16 persen debitur mengalami kenaikan level kredit hingga kolektibilitas tiga atau diragukan akibat ada yang macet dalam 12 bulan terakhir.

“Masalahnya ini menurut saya adanya kenaikan-kenaikan kolektibilitas ini karena UMKM harus bayar cicilan dengan bunga tinggi, dan membebankan UMKM, jadi lebih susah,” kata Leo.

Apalagi, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pasca pandemi Covid-19 UMKM sangat terpukul bisnisnya. Sehingga membuat NPL gross perbankan segmen UMKM masih mengalami kenaikan hingga berada di level 4,04 persen per Juni 2024.  

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga mencatat penyaluran kredit UMKM dari perbankan nasional masih tumbuh 5,1 persen pada Juli 2024 atau mencapai Rp1.375 triliun. Kondisi ini diyakini terus tumbuh seiring dengan UMKM yang semakin berkembang.

Pentingnya menilai skor kredit secara dua lapis

ilustrasi menggunakan kartu kredit (unsplash.com/Clay Banks)

Di sisi lain, meskipun tingkat adopsi layanan keuangan di Indonesia sudah tergolong tinggi yakni sekitar 85 persen populasi telah menggunakan jasa keuangan, rasio produk domestik bruto (PDB) terhadap utang rumah tangga masih juga terbilang rendah di angka 16 persen. 

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti India dan Filipina yang berada di rata-rata 30 persen. Kondisi di Indonesia ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara permintaan pinjaman yang lebih besar dengan suku bunga yang kompetitif dan inefisiensi dalam pemanfaatan data keuangan, serta perlunya peningkatan evaluasi kelayakan kredit.

Untuk menghadapi tantangan saat ini, tiga Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan di Indonesia — PT CRIF Lembaga Informasi Keuangan (CLIK), PT Kredit Biro Indonesia Jaya (CBI), dan PT PEFINDO Biro Kredit (idScore) — telah bekerja sama untuk membentuk Asosiasi Pengelola Informasi Kredit (APIIK). Kolaborasi strategis ini bertujuan untuk memperkuat infrastruktur kredit di Indonesia dan menciptakan sistem keuangan yang lebih inklusif dan efisien.

APIIK juga bekerja sama dengan EY Parthenon untuk melakukan studi mengenai ekosistem pelaporan kredit Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pandangan yang komprehensif kepada regulator dan pemangku kepentingan terkait kondisi infrastruktur kredit nasional. Studi ini bertujuan untuk memahami kinerja dan dinamika sektor pelaporan kredit di Indonesia, memahami industri pelaporan kredit global khususnya interaksi antara Public Credit Registry (PCR) dan Private Credit Bureau (PCB), serta mengidentifikasi berbagai kesenjangan dan peluang yang berpotensi meningkatkan kapabilitas penilaian kredit.

Hasil dari studi ini merekomendasikan agar Indonesia mempertahankan pendekatan sistem ganda (dual system approach) untuk infrastruktur pelaporan kreditnya, di mana PCR dan PCB memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi.

Dalam pendekatan ini, PCR (SLIK OJK) berfungsi sebagai basis data terpusat untuk data dari lembaga jasa keuangan (LJK), sementara PCB mengumpulkan data beragam dari non-lembaga jasa keuangan (Non-LJK) untuk menghasilkan laporan terperinci dan skor kredit yang menilai kelayakan kredit dan pola penggunaan kredit. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan pada populasi yang tidak memiliki akses perbankan (unbanked), memastikan penilaian risiko yang kuat, menjaga privasi data yang aman, dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem pelaporan kredit secara keseluruhan.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

IDN Channels

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Beban Kerja Tinggi dan Gaji Rendah, Great Resignation Marak Lagi
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil