Jakarta, FORTUNE - PT Zurich Topas Life (Zurich Topas Life) mencatatkan Pendapatan Premi neto sebesar Rp795 miliar hingga akhir Desember 2024. Nilai itu tumbuh tipis 1,53 persen secara year on year (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023 lalu.
Presiden Direktur Zurich Topas Life, Richard Ferryanto mengaku bersyukur terhadap capaian itu lantaran masih tingginya gejolak perekonomian global dan ketidakpastian ekonomi domestik. “Tentunya di 2024 kita bertumbuh cukup baik ya, di tengah memang ada dinamika pasar,” kata Richard saat ditemui di Jakarta, Selasa (11/2).
Zurich Topas Life Optimis Raih Pertumbuhan Premi di 2025
Sementara itu, perusahaan Asuransi Jiwa ini juga masih memandang positif bisnis asuransi pada 2025. Meski diliputi ketidakpastian, namun pihaknya menargetkan pertumbuhan pendapatan premi di tahun ini.
“Kita melihat optimis di 2025 ini karena kebutuhan asuransi tetap ada. Karena kita melihat tadi penetrasi asuransi di Indonesia itu masih cukup rendah ya. Tentunya dengan literasi, dengan pengembangan kanal distribusi kami dan bisnis partner kami akan cukup optimis bahwa kita bisa bertumbuh,” kata Richard.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 menunjukkan indeks literasi keuangan penduduk Indonesia sebesar 65,43 persen atau meningkat dari 49,68 persen pada 2022, sedangkan indeks inklusi keuangan sebesar 75,02 persen atau turun dari posisi 85,10 persen pada 2022.
Zurich Life luncurkan produk ZIAP
Untuk memacu bisnis premi itu, Zurich Topas Life menghadirkan Zurich Income Assurance Plan (ZIAP), produk perlindungan jiwa dwiguna terbaru yang dirancang untuk membantu keluarga Indonesia menghadapi tantangan fluktuasi ekonomi sambil melindungi tujuan keuangan jangka panjang mereka.
Produk ini hadir sebagai solusi perlindungan dan perencanaan keuangan di tengah ketidakpastian ekonomi global yang berkelanjutan yang menawarkan total manfaat tahunan hingga 225 persen dan manfaat tahapan hingga 450 persen dari uang pertanggungan.
Sebagai contoh, sepanjang tahun 2024, perekonomian Indonesia turut mengalami gejolak yang cukup signifikan. Sekalipun inflasi tahunan Indonesia tercatat pada tingkat yang relatif stabil, namun sempat menghadapi tren deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan bahwa sektor pendidikan dan kesehatan menjadi salah satu penyumbang inflasi tertinggi sepanjang 2024, dengan kenaikan uang pangkal sekolah mencapai hingga 15 persen per tahun. Dari komponen tersebut, biaya kuliah masuk dalam enam besar komponen inti yang memberikan kontribusi terbesar pada inflasi Indonesia.