Ekonom Bank Permata Ramal Ekonomi Indonesia Tumbuh 5% di 2024
Pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat hingga 2026.
Jakarta, FORTUNE – Bank Permata memproyeksikan pertumbuhan Ekonomi Indonesia bisa bertahan pada kisaran 5 persen di sepanjang 2024, meski pertumbuhan ekonomi secara kuartalan cenderung stagnan.
Chief Economist PermataBank, Josua Pardede, mengatakan bahwa proyeksi ini senada dengan perkiraan dari berbagai lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
“Berkisar sekitar 5,07 persen dan 2025-2026 ini cenderung akan terus meningkat," katanya dalam paparan Indonesia Economic Review, Selasa (14/5).
Menurutnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih akan di bawah normal (5 persen), namun hal ini akan mulai membaik di 2025. Sementara, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga diperkirakan sedikit melambat dibandingkan tahun lalu namun masih di kisaran 4 persen.
Inflasi
Josua juga memperkirakan inflasi akan tetap berada di kisaran 3 persen. Meski demikian, pada current account, ia memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun 2024 minus 0,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 2023 minus 0,11 persen terhadap PDB.
"Sekalipun memang ada pelebaran defisit dari kedua neraca (twin deficit), neraca APBN dan neraca transaksi berjalan, namun kami tetap melihat bahwa fundamental ekonomi Indonesia sejauh ini tetap dalam kondisi yang solid sehingga risiko ini memang untuk jangka pendek belum terlalu kelihatan, namun kita tetap perlu mengantisipasi dalam jangka menengah," ujar Josua.
Suku bunga acuan
Josua juga memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia akan berada di level 6,25 persen dan akan bertahan hingga akhir 2024. “Sehingga ini kami perkirakan bahwa nilai tukar rupiah setidaknya masih akan berada dalam kisaran Rp16 ribu," katanya.
Ia menilai, kebijakan Bank Indonesia dalam menaikkan suku bunga merupakan langkah tepat, mengingat Indonesia perlu meredam imported inflation karena penguatan dolar Amerika Serikat.
Keputusan ini dipandangnya sebagai langkah pre-emptive dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta menjangkar ekspektasi inflasi.
“Kebijakan BI tidak hanya sebatas pada kebijakan moneter. Kalau kita lihat dari sisi kebijakan BI lainnya, seperti makroprudensial, sistem pembayaran, pendanaan pasar keuangan, ini masih relatif longgar apalagi dengan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) masih akan tetap dilonggarkan ataupun dilanjutkan," kata Josua.