Tuntutan Global Terkait Keuangan Hijau Jadi Peluang Ekonomi Indonesia
Perubahan iklim makin mengancam, Indonesia tak boleh telat.
Jakarta, FORTUNE – Tuntutan global terkait keuangan hijau merupakan peluang bagi perekonomian Indonesia menyusul potensi kekayaan alam yang besar dan cukup beragam. Bila dikaitkan dengan upaya mengatasi dampak perubahan iklim, Indonesia dapat mencapai emisi nol relatif lebih cepat daripada sejumlah negara lain.
“Potensi ini tentunya harus dapat kita manfaatkan dan kita kelola dengan baik, serta dengan konsistensi dan keberanian untuk melakukan berbagai terobosan agar bisa menjadi kekuatan ekonomi kita ke depan,” kata Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dikutip Antara, Rabu (8/12).
Dalam hematnya, peluang tersebut merujuk pada ekonomi rendah karbon yang dapat mengundang investasi global ke Indonesia. Hal ini tentu dapat menjadi sumber baru devisa negara serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Apa itu keuangan hijau?
Keuangan hijau belakangan semakin sering dibicarakan, terutama terkait situasi perubahan iklim yang semakin mengancam kehidupan manusia. Hal ini menuntut adanya perubahan gaya hidup yang semula mengesampingkan kondisi alam yang berkelanjutan menjadi lebih ramah lingkungan.
Oleh karena itu, mengutip Hohne (2012), keuangan hijau berarti investasi keuangan yang mengalir ke proyek dan program pembangunan berkelanjutan, produk lingkungan, dan kebijakan yang mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Menurut Presiden Joko Widodo, kata Destry, Indonesia punya sumber energi terbarukan yang sangat besar. Daya yang dapat dihasilkan melalui sumber energi tebarukan ini diperkirakan 418.000 MW, mulai dari tenaga angin, aliran sungai, hingga biotermal. Pilihan sumber energi inilah yang dianggap sebagai sumber investasi baru potensial dalam kerangka keuangan hijau.
Destry mengungkapkan, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan CAGR (Compund Annual Growth Rate), kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diproyeksikan mencapai 0,62 persen per tahun dengan tambahan kenaikan cadangan devisa US$51,9 miliar.
Perubahan iklim semakin mengancam
Destry tidak memungkiri perubahan iklim juga semakin mengancam perekonomian global. Dampaknya diperkirakan jauh lebih besar ketimbang krisis keuangan global 2008. Situasi ini ditambah dengan kondisi Indonesia yang sangat rentan pada perubahan iklim, mengingat letaknya yang berada pada kawasan cincin api.
AON-Catastophe Insight 2020 mengungkapkan kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem mencapai US$5,1 triliun dalam 2 tahun terakhir. Menurut data Bappenas 2021, Indonesia merugi hingga Rp100 triliun per tahun, akibat cuaca ekstrem ini.
“Biaya ini diperkirakan akan terus tumbuh secara eksponensial akibat semakin ekstremnya cuaca di masa depan. Sehingga, apabila kita tidak melakukan tambahan aksi mitigasi, maka biaya akibat cuaca ekstrem pada 2050 diperkirakan mencapai 40 persen dari PDB,” kata Destry.
Indonesia tidak boleh terlambat
Melihat situasi saat ini, Indonesia tidak boleh terlambat melakukan mitigasi. Maka dari itu, ucap Destry, Indonesia harus menyesuaikan dengan tuntutan global akan ekonomi hijau bila tidak ingin terekspos risiko transisi global lebih lanjut.
Perubahan iklim akan menjadi hambatan bagi ekspor produk-produk unggulan Indonesia. Tambahan pajak karbon dan akses keuangan global akan membatasi gencarnya ekspor Indonesia.
Bank Indonesia (BI) secara aktif telah melakukan inisiatif keuangan hijau sejak 2010. Bahkan, menurut Destry, BI telah menyiapkan draft kerangka keuangan hijau sejak 2020, riset tentang kebijakan makroprudensial hijau, serta penguatan peraturan tentang green LTV (loan to value) yang menjadi pendukung sistem keuangan hijau.