Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Tukar Mata Uang
Dari inflasi hingga kondisi perpolitikan.
Jakarta, FORTUNE - Fluktuasi nilai tukar mata uang berdampak cukup signifikan terhadap perekonomian, khususnya dunia usaha. Tidak jarang pula dampak yang terasa justru negatif alih-alih positif. Karena itu, memahami faktor-faktor penyebab perubahan nilai tukar penting untuk membantu Anda dalam membuat keputusan yang lebih baik tentang investasi.
Lantas apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tukar mata uang di suatu negara? Berikut ulasannya:
Faktor global
Faktor-faktor seperti krisis global, perang, dan bencana alam dapat berpengaruh pada nilai tukar mata uang secara global. Pada 2018, misalnya, peningkatan ketidakpastian global mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah tahun itu.
Penyebabnya adalah serangkaian kenaikan Federal Funds Rate (FFR) dan ketidakpastian pada pasar keuangan global. Kondisi ini menyebabkan aliran modal asing ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia menurun. Akibatnya, rupiah tertekan hingga September 2018, dan puncaknya terjadi pada Juli.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia kala itu, pelemahan rupiah sejalan dengan melemahnya mata uang mayoritas negara berkembang.
Tingkat suku bunga
Tingginya tingkat suku bunga dalam suatu negara akan menarik investor untuk memindahkan dana ke negara tersebut, sehingga akan meningkatkan nilai mata uang negara bersangkutan.
Karena itu, pada 2018 Bank Indonesia mengambil tindakan preventif untuk mempertahankan stabilitas makroekonomi dengan fokus stabilitas rupiah ketika investor mulai angkat kaki dari pasar keuangan domestik.
Untuk mempertahankan daya tarik aset keuangan Indonesia dan mempertahankan defisit transaksi berjalan pada tingkat yang masuk akal, BI 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga kebijakan Indonesia dinaikkan hingga 175 basis poin.
Kebijakan pemerintah
Kebijakan fiskal dan moneter yang diambil oleh pemerintah dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang. Kebijakan yang pro-bisnis dan stabil dapat meningkatkan nilai mata uang.
Pada tahun yang sama, Indonesia berupaya mempertahankan stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamental tanpa mempengaruhi mekanisme pasar. Dukungan tambahan untuk stabilitas nilai tukar juga datang dari inisiatif untuk memperdalam pasar keuangan, seperti pengenalan transaksi non-deliverable forward (DNDF) domestik pada 1 November 2018. Itu secara tidak langsung mempengaruhi pergerakan rupiah dan mempertahankan stabilitas mata uang.
Kebijakan nilai tukar juga dikuatkan dengan tindakan untuk memastikan likuiditas yang memadai pada pasar forex domestik dan meminimalkan risiko lebih lanjut terhadap rupiah.
Perdagangan Internasional
Neraca perdagangan yang seimbang atau surplus dapat memperkuat nilai mata uang suatu negara, sementara neraca perdagangan yang defisit dapat melemahkan nilai mata uang.
Ini terbukti lagi-lagi pada 2018 ketika tekanan terhadap kurs rupiah juga dipicu oleh penurunan ekspor netto Indonesia. Tingginya permintaan mata uang asing terjadi karena peningkatan impor dalam tiga kuartal pertama pada 2018—yang didorong oleh kuatnya permintaan domestik.
Sepanjang Januari–September tahun itu, impor gas non-minyak mengalami peningkatan rata-rata 22,5 persen, jauh di atas pertumbuhan 13,9 persen pada tahun sebelumnya.
Tingkat pertumbuhan ekonomi
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat memperkuat nilai mata uang suatu negara, sehingga menjadi lebih menarik bagi investor. Tingkat pertumbuhan ekonomi pada aras global juga turut berpengaruh.
Misalnya, turunnya pasokan mata uang asing dari ekspor pada paruh kedua 2018 disebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan turunnya harga komoditas.
Selain itu, ekspor non-minyak dan gas hanya tumbuh 4,0 persen pada semester kedua 2018, jauh di bawah pertumbuhan 16,7 persen pada 2017 secara keseluruhan.
Kondisi politik
Stabilitas politik dan ketertiban hukum suatu negara dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap negara tersebut, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang.
Pada 2018, contohnya, tekanan pada rupiah juga datang dari eskalasi tensi perdagangan antara AS dan Cina, yang menyebabkan premi risiko yang lebih tinggi di pasar negara berkembang. Cina mengambil tindakan balasan dengan membebankan tarif pada 106 produk yang diimpor dari AS setelah keputusan AS untuk membebankan tarif 25 persen pada impor dari Cina pada April tahun tersebut.
Inflasi
Tingginya inflasi suatu negara akan menyebabkan kemerosotan nilai mata uang negara tersebut. Pasalnya, inflasi tinggi mencerminkan perekonomian tidak stabil dan kurang menarik bagi investor.
Di Indonesia, stabilitas rupiah berbanding lurus dengan stabilitas harga barang dan jasa. Karena itu, untuk mencapai mandatnya dalam menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneter pada 1 Juli 2005.
ITF relevan dengan mandat dan tata kelola yang ditentukan dalam undang-undang yang berlaku. Berdasarkan ITF, inflasi adalah tujuan utama. Namun, Bank Indonesia terus memperbaiki kerangka kebijakan moneternya berdasarkan dinamika tantangan ekonomi yang terus-menerus berubah untuk meningkatkan efektivitas. Dalam praktiknya, ITF dilaksanakan dengan menggunakan suku bunga kebijakan sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga antarbank sebagai target operasional.