IFG Ungkap Tantangan Industri Asuransi Jiwa di Semester II-2025

- Tantangan industri asuransi jiwa di semester II-2025, IFG ungkap faktor struktural seperti ketidakpastian global, tekanan inflasi, pelemahan daya beli masyarakat, dan peningkatan rasio klaim di sektor asuransi umum.
- Pengeluaran kesehatan keluarga tembus Rp5,02 juta per tahun, terutama di provinsi dengan pendapatan tinggi seperti DKI Jakarta yang mencapai 9,20% dari pendapatan. Inflasi biaya kesehatan diproyeksikan mencapai 16,2% pada 2025.
- Implementasi PSAK 117 berpotensi menggerus ekuitas asuransi selama masa transisi. Penguatan kapasitas reasuransi domestic diharap mampu menarik prem
Jakarta, FORTUNE – Indonesia Financial Group (IFG) memandang pada semester II-2025 industri asuransi jiwa nasional masih dihadapkan pada tantangan struktural yang tidak ringan. Ketidakpastian global, tekanan inflasi, pelemahan daya beli masyarakat, serta peningkatan rasio klaim di sektor asuransi menjadi faktor yang harus direspons dengan hati-hati.
Sekretaris Perusahaan IFG, Denny S. Adji menuturkan, asuransi berfungsi sebagai pelindung risiko yang mendukung keberlanjutan sektor produktif dan perlindungan sosial masyarakat.
“Industri asuransi kini memikul peran strategis sebagai instrumen keuangan yang memberikan perlindung terhadap risiko. Integrasi kebijakan, pengawasan adaptif, dan literasi publik menjadi pondasi ekosistem terintegrasi,” kata Denny saat diskusi media di Jakarta, Rabu (30/7).
Pengeluaran kesehatan keluarga tembus Rp5,02 juta

Tantangan pertama berasal dari proporsi biaya kesehatan terhadap pendapatan masyarakat yang semakin meningkat.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, rata-rata pengeluaran atau out-of-pocket (OOP) kesehatan masyarakat Indonesia mencapai Rp5,02 juta per tahun. Nilai ini setara 5,76 persen dari pendapatan tahunan rumah tangga.
Bahkan, di provinsi dengan pendapatan tinggi seperti DKI Jakarta saja beban kesehatan bahkan mencapai 9,20 persen dari pendapatan dan menunjukkan tekanan biaya hidup yang signifikan.
Hal ini, lanjut Denny, disebabkan tingginya inflasi biaya kesehatan di Indonesia terus meningkat, dengan angka yang secara konsisten melebihi 12 persen dan diproyeksikan mencapai 16,2 persen pada 2025. Kondisi inilah yang akan berpengaruh terhadap raihan pendapatan premi asuransi lantaran tingginya angka klaim asuransi kesehatan.
PSAK 117 berpotensi gerus ekuitas asuransi

Di sisi lain, Implementasi PSAK 117 di industri asuransi juga dikhawatirkan dapat menggerus ekuitas perusahaan selama masa transisi. Hal ini menjadi tantangan karena pada saat yang sama, perusahaan juga harus mempersiapkan pemenuhan ketentuan minimum permodalan sesuai dengan POJK 23/2023.
Di sisi lain, penguatan kapasitas reasuransi juga masih menjadi tugas rumah perusahaan asuransi. Peningkatan kapasitas reasuransi domestic ini diharap mampu menarik premi luar negeri serta menahan aliran premi keluar negeri, sehingga sehingga defisit current account dapat ditekan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri mencatat kinerja asuransi komersial berupa pendapatan premi pada periode Januari-Mei 2025 mencapai Rp138,61 triliun, atau tumbuh tipis 0,88 persen (yoy). Nilai pendapatan ini terdiri dari premi asuransi jiwa yang terkontraksi sebesar 1,33 persen (yoy) dengan nilai sebesar Rp72,53 triliun, dan premi asuransi umum dan reasuransi tumbuh 3,43 persen (yoy) dengan nilai sebesar Rp66,08 triliun.