Pemulihan Ekonomi Domestik, Surplus Transaksi Berjalan Bakal Menyusut
Surplus menurun seiring normalisasi harga komoditas.
Jakarta, FORTUNE – Tren surplus transaksi berjalan Indonesia pada 2021 diperkirakan akan terhenti tahun ini. Kepala ekonom Bank Permata, Josua Pardede, berpendapat transaksi berjalan akan kembali negatif akibat normalisasi harga komoditas terutama pada semester kedua 2022.
“Hal ini salah satunya akibat pengetatan moneter dari bank sentral Amerika Serikat yang akan cenderung menekan harga komoditas global. Tidak hanya itu, sejalan dengan perbaikan ekonomi, diperkirakan kinerja impor serta defisit pendapatan primer kembali meningkat di tahun ini, yang kemudian menekan transaksi berjalan,” kata Josua kepada Fortune Indonesia, Senin (21/2).
Pernyataan Josua merespons Bank Indonesia (BI) yang mencatat Indonesia berhasil membukukan surplus transaksi berjalan mencapai US$3,32 miliar, atau setara 0,28 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut berbanding terbalik dengan US$4,43 miliar defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada 2020. Tren surplus ini juga perdana sejak 2012.
“Surplus tersebut terutama ditopang oleh pesatnya kinerja ekspor sejalan dengan meningkatnya permintaan dari negara mitra dagang dan tingginya harga komoditas global, di tengah impor yang meningkat seiring perbaikan ekonomi domestik,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, dalam keterangan kepada media, Jumat (18/02).
Josua menambahkan pendorong utama surplus adalah neraca perdagangan barang yang mencapai US$43,81 miliar—tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Kondisi itu diakibatkan ekspor yang melaju 42,48 persen lebih-lebih disokong harga komoditas batu bara dan crude palm oil (CPO). Di saat sama, kenaikan harga dibarengi dengan lonjakan volume permintaan sering perbaikan ekonomi dunia.
Menurut Josua, itu belum termasuk faktor neraca perdagangan jasa dan pendapatan primer yang mengalami pelebaran defisit dibandingkan dengan 2020.
Transaksi berjalan di tengah ketidakpastian
Secara keseluruhan, menurut Josua, defisit transaksi berjalan atau CAD masih akan berada pada kisaran 0,5 persen sampai 1 persen dari PDB. Menurutnya, neraca transaksi berjalan masih akan surplus tahun ini.
Sementara, kinerja transaksi modal dan finansial pada periode sama surplus US$11,67 miliar, lebih tinggi dari capaian US$7,88 miliar pada 2020. Dengan begitu, surplus neraca pembayaran Indonesia (NPI) mencapai US$13,5 miliiar, naik dari US$2,59 miliar pada tahun sebelumnya.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis (10/2), memperkirakan kinerja neraca pembayaran tahun ini akan tetap terjaga. Kondisi itu ditaksir berkat transaksi berjalan yang bakal defisit, namun tetap rendah di kisaran 1,1 persen sampai 1,9 persen dari PDB.
Kinerja neraca pembayaran sedemikian menunjukkan posisi yang kuat, kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu. Padahal, kondisi tersebut di tengah tekanan global akibat eskalasi pandemi serta gejolak pengurangan stimulus moneter yang dilakukan bank sentral.
“Hal ini menjadi capaian yang cukup krusial, mengingat neraca pembayaran merupakan salah satu pilar dari stabilitas makro nasional”, ujar Febrio dalam keterangan kepada media, Sabtu (19/2).
Menurut Febrio, ketidakpastian di pasar keuangan dunia di masa mendatang diramal masih cukup tinggi sejalan dengan perkembangan kebijakan pengetatan moneter. Pada gilirannya, program tersebut akan berdampak terhadap keberlanjutan aliran modal dalam negeri.
Di sisi lain, kinerja transaksi berjalan, kata dia, akan menghadapi tantangan dengan adanya penguatan impor serta tren normalisasi harga komoditas.
“Oleh karena itu, pemerintah bersama Bi dan otoritas terkait akan terus berkoordinasi dalam menjaga stabilitas ekonomi guna mendukung peningkatan kinerja perekonomian nasional”, ujarnya.