Perekonomian Tiongkok Bangkit pada 2021, Tapi Ada Tanda-Tanda Melambat
Prospek ekonomi Tiongkok 2022 ini sekitar 5 persen.
Jakarta, FORTUNE – Perekonomian Tiongkok kembali tumbuh signifikan pada 2021 meski menunjukkan gejala melambat pada kuartal IV. Pertumbuhan sebagian besar disokong oleh aktivitas produksi industri. Sedangkan, konsumsi rumah tangga melemah di tengah gangguan COVID-19.
Biro Statistik Nasional (NBS) Tiongkok, pada Senin (17/1), mengumumkan perekonomian domestik mengalami ekspansi terlaju sejak 2011 dengan 8,1 persen, lebih baik ketimbang proyeksi sebelumnya yang mencapai 8,0 persen. Setahun sebelumnya, pertumbuhan mencapai 2,2 persen dan dianggap sebagai yang terlambat dalam 44 tahun.
"Saat ini, tekanan pada ekonomi Tiongkok masih relatif besar, dan pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan penduduk terbatas," kata Ning Jizhe, kepala NBS Tiongkok, dalam konferesi pers, seperti dikutip dari Reuters.
“Tekanan pada pertumbuhan akan bertahan pada 2022," demikian pernyataan Louis Kuijs, kepala ekonomi Asia di Oxford Economics, dalam sebuah laporan sembari menyatakan real estate kemungkinan baru pulih pada akhir kuartal kedua tahun ini, dan pemerintah Tiongkok tidak melonggarkan pembatasan COVID-19. “Akibatnya, kami memproyeksikan pertumbuhan konsumsi yang mengecewakan tahun ini, terutama pada paruh pertama 2022.”
Konsumsi rumah tangga: investasi properti dan penjualan eceran melambat
Tiongkok terutama tengah menghadapi gejolak pasar properti, yang bermula dari krisis salah satu pengembang terbesar, yakni Evergrande Group, yang memiliki total kewajiban senilai US$300 miliar. Kemelut Evergrande itu telah lama dikhawatirkan dapat memicu risiko lebih luas bagi pasar properti Tiongkok.
Buktinya, investasi properti tahun lalu hanya tumbuh 4,4 persen, paling lambat sejak 2016. Bahkan, pada Desember 2021, investasi anjlok hingga 13,9 persen secara tahunan.
“Kami memperkirakan pelemahan lebih lanjut sektor perumahan selama kuartal mendatang di tengah kendala pembiayaan yang ketat untuk pengembang," kata Julian Evans-Pritchard, ekonom senior Cina untuk Capital Economics, seperti dilansir dari CNN.
Konsumi warga yang melemah juga tampak dari kinerja penjualan ritel, yang pada Desember hanya tumbuh 1,7 persen setahunan. Kinerja itu meleset dari ekspektasi, terendah sejak Agustus 2020.
Kebijakan nol kasus COVID-19
Para ekonom juga telah memperingatkan pemerintahan Tiongkok mengenai kebijakan nol kasus COVID-19. Sebab, pembatasan agresif pada sebagian besar penduduk dapat berdampak serius pada perekonomian.
Goldman Sachs, misalnya, memangkas proyeksinya untuk pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2022 menjadi 4,3 persen dari sebelumnya 4,8 persen. Mereka memperkirakan konsumsi akan menjadi yang paling terpukul sebagai akibat dari pembatasan COVID-19 ketat.
"Tantangan terbesar tahun ini bagi pembuat kebijakan adalah bagaimana menstabilkan ekonomi pada kisaran 5 hingga 5,5 persen dengan latar belakang kebijakan nol COVID-19 yang dinamis," kata Nie Wen, kepala ekonom di Hwabao Trust di Shanghai.
Pelonggaran kebijakan secara drastis
Bank sentral Tiongkok secara tak terduga memotong biaya pinjaman jangka menengah satu tahun sebesar 10 basis poin menjadi 2,85 persen. Itu setara dengan US$110,2 miliar. Penurunan ini pertama kalinya sejak April 2020. Keputusan ini setelah pemangkasan rasio persyaratan pencadangan perbankan bulan lalu.
Sementara itu, Konferensi Kerja Ekonomi Pusat—sebuah acara yang diadakan oleh para pejabat Tiongkok pada Desember untuk memutuskan arah kebijakan 2022—juga mengisyaratkan akan tindakan lebih agresif tahun ini. Pada pertemuan itu, pemerintah menyiratkan bakal proaktif tentang kebijakan, dan memprioritaskan investasi infrastruktur dan mendukung pasar perumahan komersial.
Namun, menurut Chaoping Zhu, kepala strategi global dari JP Morgan Asset Management langkah-langkah ini tampaknya belum cukup. Pinjaman bank ke sektor swasta, misalnya, belum pulih secara berarti.
"Ini menunjukkan bahwa kepercayaan bisnis belum pulih," tulisnya. Zhu mengharapkan bank sentral untuk memangkas lebih lanjut suku bunga pinjaman. Pemerintah juga dapat menerbitkan lebih banyak obligasi untuk mendanai infrastruktur, yang dapat memicu investasi dan lapangan kerja. Dengan kebijakan itu, prospek pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5 persen.