Perekonomian Tiongkok Dibayangi Risiko Stagflasi, Apa Dampak Bagi RI
Risiko stagflasi muncul seiring perlambatan ekonomi Tiongkok
Jakarta, FORTUNE - Perekonomian Tiongkok disebut-sebut tengah dibayangi risiko stagflasi. Apa itu stagflasi? Dan apakah akan berdampak pada ekonomi negara lain, termasuk Indonesia?
Menyitir Investopedia, stagflasi merupakan kondisi saat perekonomian melambat, angka pengangguran relatif tinggi, serta terjadi kenaikan harga atau inflasi. Stagflasi merujuk pada stagnansi ekonomi—periode inflasi tinggi dengan penurunan produk domestik bruto (PDB).
Biro Statistik Nasional Tiongkok, pada Rabu (10/11) mengumumkan indeks harga produsen per Oktober naik 13,5 persen dari tahun sebelumnya, lebih cepat ketimbang pertumbuhan 10,7 persen pada September. Laju inflasi ini menyamai kecepatan sejak Juli 1995.
Indeks harga konsumen juga melaju dengan cepat, mencapai 1,5 persen secara tahunan pada Oktober, naik dari 0,7 persen pada September.
Seperti dikabarkan Fortune.com pada Selasa (19/10), perekonomian Tiongkok pada Juli-September 2021 hanya tumbuh 4,9 persen, lebih lambat dari pertumbuhan 7,9 persen pada kuartal kedua tahun ini.
Berujung beban ke konsumen
Imbas tekanan inflasi itu dikhawatirkan berdampak kepada harga barang di level konsumen yang akan meningkat beberapa bulan mendatang. Sebab, perusahaan menghadapi kendala pasokan sehingga harus membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen.
"Kami khawatir tentang peralihan dari harga produsen ke harga konsumen," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, dalam sebuah catatan seperti dikutip Reuters, Kamis (11/11).
Tekanan inflasi, khususnya di sisi produsen, ditambah dengan faktor perlambatan ekonomi inilah yang memicu kecemasan akan stagflasi. "Risiko stagflasi terus meningkat,” katanya.
Kondisi tersebut juga membuat sulit Bank Rakyat Tiongkok dalam mempertimbangkan kebijakan stimulus moneter. Lembaga itu diyakini akan berhati-hati dalam menyuntikkan stimulus di tengah tren inflasi tinggi serta perlambatan ekonomi.
"Meningkatnya inflasi konsumen dan peningkatan inflasi produsen mengurangi kemungkinan penurunan suku bunga kebijakan Bank Rakyat Tiongkok," kata Ting Lu, kepala ekonom Tiongkok di Nomura.
Belum berdampak ke ekonomi RI
Meski sudah ada tanda-tanda stagflasi, namun menurut Direktur Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal, itu masih jauh. Sebab, perekonomian Tiongkok terhitung masih positif dan belum masuk ke resesi (pertumbuhan ekonomi negatif).
“Saya rasa Tiongkok masih jauh dari stagflasi karena pertumbuhan ekonominya masih tinggi,” kata Faisal kepada Fortune Indonesia, Kamis (11/11). “Bahkan ekonomi Tiongkok lebih tinggi dari Indonesia.”
Berdasarkan data BPS, perekonomian Indonesia memang melambat, dari tumbuh 7,07 persen secara tahunan pada kuartal kedua 2021, menjadi 3,51 persen pada kuartal ketiga.
Dus, bagi Faisal, dampak stagflasi ke Indonesia juga belum akan mengemuka. “Saya rasa belum (dampak stagflasi ke Indonesia),” katanya.
Menurut data BPS, inflasi inti tahunan Indonesia per Oktober 2021 masih terjaga di posisi 1,33 persen. Posisi inflasi itu lebih rendah dari 1,74 persen pada Oktober tahun lalu.