Rekor Surplus Neraca Dagang Bukti Pemulihan Ekonomi RI Kuat
Surplus mengindikasikan aktivitas pabrik yang menggeliat.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah Indonesia menganggap tren surplus neraca perdagangan (ekspor-impor) merupakan sinyal pemulihan ekonomi dalam negeri yang cemerlang.
“Kinerja (surplus) ini akan meningkatkan resiliensi sektor eksternal Indonesia, sehingga semakin kuat menghadapi berbagai tantangan yang diperkirakan masih berlanjut di tahun ini,” kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangan resmi, seperti dikutip pada Selasa (18/1).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun lalu membukukan surplus US$35,34 miliar, dan sejauh ini dianggap tertinggi sejak 2006. Sebagai perbandingan, pada 2020 neraca perdagangan surplus US$21,62 miliar, dan pada 2019 defisit US$3,59 miliar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan kinerja neraca dagang sedemikian juga mengindikasikan pemulihan ekonomi RI yang solid dan terjaga.
Pada Desember 2021, neraca perdagangan Indonesia surplus US$1,02 miliar. katanya. Meski menurun dari US$3,52 miliar pada bulan sebelumnya, namun surplus tersebut telah terjadi selama 20 bulan terakhir. “Aktivitas ekonomi global dan domestik yang membaik, harga komoditas global yang masih relatif tinggi, turut menyumbang perbaikan kinerja neraca perdagangan 2021,” ujarnya.
Ekspor bertopang sejumlah komoditas utama: CPO, nikel, besi dan baja
Kinerja surplus pada 2021 ditopang nilai ekspor yang mencapai US$231,54 miliar atau tumbuh 41,88 persen, kata Airlangga. Hilirisasi komoditas unggulan, seperti produk turunan kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan nikel, ditengarai berhasil mendorong ekspor tersebut. Ekspor lemak dan minyak hewan atau nabati dan nikel pada periode sama masing-masing tumbuh 58,48 persen dan 58,89 persen.
Menurut Airlangga, dari 10 besar komoditas utama ekspor, komoditas bijih logam, terak, dan abu tumbuh tertinggi sebesar 96,32 persen, diikuti oleh ekspor besi dan baja yang juga naik 92,88 persen.
“Pencapaian ini mengindikasikan pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut. Tercermin pula dari meningkatnya penciptaan nilai tambah pada sektor manufaktur. Terbukti secara kumulatif, ekspor nonmigas hasil industri naik 35,11 persen menjadi sebesar US$177,11 miliar,” katanya.
Impor industri membaik seiring pengendalian pandemi
Impor Indonesia di saat sama juga meningkat 38,59 persen menjadi US$196,20 miliar. Dari jumlah tersebut, impor golongan bahan baku dan penolong mendominasi dengan kontribusi 75,12 persen, dan sisanya barang modal dan barang konsumsi. Struktur tersebut, menurut Airlangga, mengindikasikan perekonomian produktif dengan penciptaan nilai tambah baik bagi domestik maupun untuk menunjang ekspor.
Penurunan kasus COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir telah membuat pemerintah melonggarkan pembatasan mobilitas, ujarnya. Kondisi ini berdampak pada lancarnya perekonomian sehingga mendorong kenaikan pada aggregate demand. Dengan begitu, sektor manufakur menjadi terdorong untuk meningkatkan outpout produksinya.
Pernyataan Airlangga didukung data dari lembaga IHS Markit yang menyebut angka Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia mencapai 53,5 pada Desember 2021. Angka PMI di atas 50 mengindikasikan industri sedang ekspansif, dan sebaliknya di bawah 10 aktivitas pabrik sedang tertekan. PMI Indonesia juga lebih baik dibandingkan sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia (52,8), Vietnam (52,5), Filipina (51,8), Thailand (49,5), dan Myanmar (49,0).
“Meski demikian, pemerintah tetap mewaspadai fenomena meningkatnya kasus varian Omicron yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada akhir Januari atau awal Februari 2022 ini,” ujarnya. Airlangga berharap dengan efektifnya pengendalian pandemi, maka penurunan kasus COVID-19 diharapkan terus terjadi, dan pada gilirannya mengakselerasi pemulihan ekonomi.