Jakarta, FORTUNE - Tahun 2023 menjadi momentum melajunya industri Barang Mewah global, dengan merek-merek terkemuka Eropa mengarahkan perhatian mereka ke pasar-pasar baru dan berkembang.
Dari pameran koleksi di Mumbai hingga acara Chanel di Tokyo, perusahaan-perusahaan ini tidak hanya berupaya menarik pelanggan baru dan memperluas jangkauan ritel, tetapi juga untuk berkolaborasi dengan komunitas lokal dan pengrajin.
Proyeksi pertumbuhan global untuk pasar barang mewah menunjukkan kenaikan sebesar 11-13 persen, mencapai €1,5 triliun pada tahun 2023. Namun, negara maju seperti AS diprediksi tetap stagnan, sementara Tiongkok, pasar penting lainnya, menghadapi tantangan makroekonomi.
Untuk mencapai pertumbuhan yang diinginkan, perusahaan kelas atas beralih ke pasar negara berkembang. Amerika Latin (Meksiko), Timur Tengah (Arab Saudi), dan Asia (India dan Filipina) menjadi fokus utama, mendapat perhatian karena peluang besar yang ditawarkan.
Ke depan, industri barang mewah global diprediksi akan kembali normal. Negara-negara dengan potensi pertumbuhan tertinggi, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Meksiko, diharapkan berperan penting.
"‘Ekonomi normal baru’ membuka ruang untuk nilai-nilai alternatif dan kriteria pengeluaran," ungkap Roberts dari Euromonitor, kepada Vogue Business.
"Makna kemewahan telah mengalami metamorfosis, dan tren seperti diversifikasi, digitalisasi, proposisi nilai, dan keberlanjutan akan terus membentuk industri ini,” katanya, menambahkan.
Melansir Vogue Business, Senin (9/1), ada empat pasar negara berkembang yang menonjol pada tahun 2023 dan berpotensi menjadi pusat tren tahun 2024.
Pertumbuhan di Asia Tenggara
Perlambatan di pasar seperti Korea Selatan dan Tiongkok mendorong pertumbuhan di Asia Tenggara. Kawasan ini, terutama Thailand, Vietnam, Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina, diproyeksikan tumbuh sebesar 4,8 persen pada tahun 2024. Thailand memimpin pertumbuhan berkat meningkatnya basis konsumen lokal, pariwisata, dan investasi asing.
Singapura dan Vietnam juga menjadi pasar penting yang terus berkembang. Dengan estimasi pasar barang mewah Singapura mencapai US$9 miliar tahun ini dan meningkat menjadi US$11,1 miliar pada tahun 2024, serta Vietnam yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,3 persen per tahun hingga 2028, merek-merek kelas berat memperluas jejak ritel mereka di kedua negara.
Penguatan posisi India
India mencapai "kedewasaan" dalam lanskap kemewahan, menarik perhatian merek-merek Barat. Dior memulai tren ini dengan pertunjukan di Mumbai, dan peningkatan minat barang mewah di kalangan pelanggan lokal membuat India menjadi tujuan menarik bagi merek kelas atas.
Konsolidasi posisi India tidak hanya dalam fesyen mewah, tetapi juga sebagai pusat kecantikan dan kosmetik berkembang pesat, menunjukkan potensi pertumbuhan yang signifikan di sektor ini.
Lanskap konsumen mengalami pergeseran yang nyata di India pada tahun 2023 seiring dengan terjadinya inflasi , tekanan pada sektor pertanian, penurunan perdagangan, pembelian aspirasional, dan dan premiumisasi yang menentukan pola konsumsi. Pasar perkotaan telah menjadi pendorong pertumbuhan didorong perdagangan modern dan e-commerce.
Sementara itu, konsumen kelas bawah ragu-ragu untuk berbelanja sementara masyarakat kaya menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang premium. Namun, tanda-tanda pemulihan juga terlihat di tengah harapan kebangkitan konsumsi secara keseluruhan pada tahun 2024.
Potensi di Timur Tengah
Meskipun menghadapi ketidakstabilan, Timur Tengah tetap menjadi destinasi kunci bagi merek-merek mewah. Negara-negara GCC, terutama UEA dan Arab Saudi, menarik perhatian karena populasi yang relatif muda dan keberadaan High Net Worth Individuals (HNWI).
Proyeksi pertumbuhan yang kuat di seluruh kawasan diantisipasi pada tahun 2024, dengan pasar Timur Tengah dan Afrika diperkirakan mencapai US$47,1 miliar tahun ini dan diperkirakan akan meningkat sekitar 15 persen menjadi US$54,7 miliar pada tahun 2024.
UEA tetap menjadi pusat mode utama di Timur Tengah, dengan populasi ekspatriat yang tinggi dan konsumen kaya. Desainer internasional semakin mengarahkan perhatian mereka ke Dubai, menandai potensi pertumbuhan di kawasan ini.
Carolina Herrera, Jil Sander, dan Michael Kors adalah beberapa merek yang telah menampilkan koleksi mereka selama acara mode di UEA. Peningkatan jumlah jutawan di UEA hingga tahun 2030 memberikan peluang lebih lanjut untuk merek-merek mewah yang ingin menargetkan konsumen dengan daya beli tinggi.
Arab Saudi, sebagai pasar fesyen terbesar kedua di GCC, menjadi sorotan dengan lebih dari separuh penduduknya berusia di bawah 30 tahun, sementara jumlah High Net Worth Individuals (HNWI) di negara ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam lima tahun mendatang. Upaya pemerintah dalam mengurangi ketergantungan pada produksi minyak dan fokus pada industri lain, termasuk fesyen, memberikan dorongan signifikan. Inisiatif seperti peningkatan kredit pajak, perubahan proses visa, dan bantuan untuk relokasi staf non-Saudi menunjukkan komitmen untuk menarik investasi internasional.
Mirip dengan UEA, merek-merek kelas berat internasional seperti Chanel, Dior, dan Tiffany sudah memiliki kehadiran yang kuat di Arab Saudi. Namun, dengan strategi baru ini, negara ini berharap untuk menarik lebih banyak merek mewah dan memperluas pengaruhnya.
Lonjakan permintaan di Afrika
Afrika, dengan sorotan pada merek-merek lokal dan internasional, menunjukkan pertumbuhan dan pengakuan internasional. Meskipun tantangan seperti ketidakpastian sosio-ekonomi dan infrastruktur yang kurang baik masih ada, minat terhadap pasar fesyen Afrika semakin meningkat.
Unesco merilis laporan pertamanya tentang fesyen di Afrika, mengungkap tantangan dan peluang, dan menyatakan komitmen untuk terus memahami dan mendukung pengembangan sistem mode di benua tersebut.
Afrika menjadi pusat perhatian dengan desainer seperti Lukhanyo Mdingi dan merek seperti Lagos Space Program, yang memenangkan penghargaan bergengsi. Peningkatan minat konsumen di Afrika dan pertumbuhan konsumen dengan pembelanjaan tinggi menandai potensi besar bagi merek-merek mewah, meskipun masih ada beberapa kendala yang perlu diatasi. Unesco berharap untuk terus mendokumentasikan dan mendukung perkembangan mode di Afrika hingga tahun 2025.
Meskipun dihadapkan dengan hambatan sosial-ekonomi, Lagos Fashion Week kembali digelar pada bulan Oktober, kali ini dengan skala yang lebih besar. Desainer ternama dan yang sedang berkembang berduyun-duyun ke Nigeria untuk mempersembahkan koleksi Spring/Summer 2024 mereka.
Desainer kelas berat seperti Orange Culture kembali menjadi pusat perhatian. Pada musim ini, terasa suasana pan-Afrikaisme: desainer dari Kenya hingga Pantai Gading melakukan perjalanan ke Lagos untuk memperkenalkan pekan mode mereka, menciptakan kesadaran merek yang luas.
"Lagos adalah ritus peralihan," ujar Ria Ana Sejpal, pendiri merek ramah lingkungan Lilabare asal Kenya kepada Vogue Business di balik panggung. "Ini adalah ibu kota mode Afrika."
Di Paris, sepuluh desainer dari Ghana, Nigeria, Kolombia, Pantai Gading, New York, dan London memamerkan koleksi mereka di showroom debut The Folklore Connect pada bulan September. Ini menjadi cara bagi para desainer untuk tetap eksis selama pekan mode terbesar di industri ini dan berkoneksi dengan pembeli potensial tanpa beban logistik atau finansial dari pertunjukan yang mandiri.
Dari Afrobeats hingga Amapiano, musik benua ini meraih popularitas global, dan merek fesyen Afrika memanfaatkan perhatian internasional ini. Desainer Afrika, termasuk diaspora mereka, menjalin kemitraan dengan beberapa bintang musik terkemuka di benua tersebut. Merek seperti Burberry berupaya bekerja sama dengan nama-nama seperti Burna Boy untuk membangun relevansi budaya.
Merek lain, seperti Daily Paper, berkolaborasi dengan beragam musisi dari yang baru hingga yang sudah mapan, termasuk Wizkid dan Burna Boy. Pada bulan Desember, merek streetwear Nigeria, Ashluxe, menggandeng Fela Kuti untuk menciptakan koleksi kapsul yang terinspirasi oleh musisi berpengaruh di dunia Afrobeat dan highlife, genre musik Afrika Barat.