Jakarta, FORTUNE - Bintang tenis Italia berusia 22 tahun Jannik Sinner menjadi sorotan kala membawa tas ransel monogram Gucci selama Wimbledon dan pertandingan US Open saat melawan rekan senegaranya Lorenzo Sonego. Momentum itu menandai semakin dalamnya hubungan antara olahraga dan fesyen mewah.
Tas-tas tersebut disesuaikan untuk setiap acara oleh rumah mewah yang berbasis di Florence dan dihiasi dengan inisial “JS”.
Kemitraan Gucci dengan pemain yang saat ini berada di peringkat ketujuh dunia ini adalah salah satu dari banyak contoh terkini, bahwa merek-merek mewah telah menyelaraskan diri dengan para atlet.
“Kami melihat minat yang lebih besar terhadap atletik, karena para atlet mulai mengenakan pakaian semata-mata karena alasan estetika,” kata jurnalis mode yang berbasis di London, Ayo Ojo, mengutip South China Morning Post, Senin (2/10).
Tak hanya itu, masih lekat dalam ingatan dua superstar sepak bola, yakni Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo menjadi bintang dalam kampanye iklan Louis Vuitton 2022. Kampanye iklan Louis Vuitton itu menjadi viral ketika dirilis tepat sebelum Piala Dunia tahun itu.
Lebih dari itu, LVMH, konglomerat di balik perusahaan seperti Louis Vuitton, Dior, dan perusahaan perhiasan Prancis Chaumet, mengumumkan pada bulan Juli bahwa mereka akan menjadi sponsor premium Olimpiade dan Paralimpiade 2024 di Paris, dengan Chaumet juga merancang medali pemenang.
Prada pada bulan Juli lalu juga menandatangani kesepakatan untuk menjadi mitra resmi tim sepak bola wanita Tiongkok. Apa yang menjadi tujuan dari rumah mode mewah ini untuk dekat ke dunia olahraga dan apa pengaruhnya?
Menggaet kelas atas
Ojo mengatakan, tren ini tidak sepenuhnya baru. “Merek-merek mewah mulai menyadari bahwa ada peluang besar untuk bekerja sama dengan tim olahraga yang menjadi sorotan,” katanya.
Senada, Naomi Accardi, seorang konsultan kreatif dan penulis, berpendapat bahwa strategi sport marketing para merek mewah hanyalah produk sampingan atau pendukung di industri.
“Semuanya merupakan peluang untuk beriklan karena menonton olahraga dan [akses terhadap] kehidupan para atlet [tidak] terbatas pada TV dan tabloid,” ujar Naomi.
Ia menyontohkan, keterlibatan bintang top sepak bola dengan merek mewah global pernah terjadi. Atlet Prancis David Ginola menjadi model koleksi musim semi/musim panas Cerruti tahun 1996, sementara legenda sepak bola Pele, Diego Maradona, dan Zinedine Zidane semuanya tampil dalam kampanye iklan Louis Vuitton tahun 2010.
Namun, langkah melanggengkan merek mewah untuk dekat ke dunia olahraga tak selalu mulus.
Misalnya topi Nova Check Burberry, yang dikaitkan dengan hooliganisme sepak bola setelah digunakan secara massal oleh kelas pekerja Inggris dan orang kaya baru di awal tahun 2000-an.
Merek tersebut segera menghentikan produknya dalam upaya mempertahankan reputasinya sebagai rumah kelas atas.
Bagi merek-merek mewah, penyelarasan dengan olahraga dan tokoh-tokoh penting lainnya menjadi hal yang sangat populer–bahkan di kalangan pembeli yang tidak menganggap diri mereka sebagai penggemar olahraga.
Mengenakan kaos sepak bola di luar pertandingan juga telah dipopulerkan di kalangan fashion set TikTok dengan tagar “blokecore ”, yang disorot pada tahun 2022. Tren ini dimulai ketika Bella Hadid mengenakan kaos oversized bergaya sepak bola berwarna merah dalam sebuah iklan untuk menandai kolaborasi antara Adidas dan Balenciaga, rumah mode yang dulu terkenal dengan gaun couture femininnya.
Peran influencer media sosial
Influencer media sosial juga memainkan peran besar dalam sport marketing rumah mode dunia. Misalnya, ketika model dan blogger Italia Chiara Ferragni baru-baru ini memasangkan kaus sepak bola Borussia Dortmund dengan tas Prisma dari merek mewah Italia Ferragamo. Dari London Timur hingga Le Marais di Paris, variasi tampilan ini sudah menjadi hal biasa.
“Merek menciptakan keinginan, yang pada gilirannya memberikan nilai pada merek,” kata sumber LVMH.
“Mengingat keunggulan media sosial, produk-produk tersebut juga memiliki faktor identifikasi yang kuat membuat produk yang dikenakan oleh para atlet dan bintang olahraga dapat menarik perhatian,” ujar sumber tersebut.
Menarik perhatian pengguna media sosial secara umum adalah taktik yang berguna, karena rata-rata penggemar olahraga biasanya tidak terlalu sibuk berdandan untuk mengesankan.
“Rata-rata penggemar tidak peduli dengan glamor dan kemewahan, mereka peduli dengan kemenangan, dan bahwa tim menghabiskan cukup uang untuk membeli pemain bagus dan memiliki rencana untuk tetap berada di puncak [klasemen liga],” kata Accardi.
Menjembatani kesenjangan olahraga dan fesyen
Di sisi lain, penghargaan atas upaya menjembatani kesenjangan antara olahraga dan fesyen juga harus diberikan pada budaya hip-hop, yang membawa streetwear dan pakaian olahraga yang baru lahir ke garis depan budaya konsumen Y2K ketika para rapper Amerika mulai mengenakan kaus bola basket dalam video musik mereka pada tahun 1990an.
Tren ini berlanjut hingga tahun 2000-an dengan video hip-hop untuk lagu seperti “Oh Boy” oleh Cam'ron yang menampilkan Juelz Santana, dan “Best of Me, Part II” oleh Mya yang menampilkan Jay-Z, di mana para artis mengenakan kaus NBA dan tim bola basket perguruan tinggi.
“NBA sebenarnya memimpin dalam hal olahraga [yang] memposisikan atletnya sebagai ikon gaya dan memasarkan mereka secara individu di luar lapangan,” kata Accardi.
Sebagai contoh, kemitraan merek dengan Nike dan mempopulerkan Jordan 1s sebagai fashion statement. Selain itu, semakin banyaknya tim olahraga yang menunjuk seorang direktur kreatif untuk memberikan keunggulan pada produk tim mereka, yang biasanya didesain kembali.
Namun klub-klub terkadang merasakan dampak buruknya karena peringkat yang merosot dan generasi muda kurang memperhatikan olahraga.
“Sehingga menunjuk nama-nama modis sebagai direktur kreatif dapat dilihat sebagai “mencari cara alternatif untuk menjual merchandise,” kata Accardi.